Skip to main content

Seputih Salju Michigan: Sempurna Putihnya Manusia (Review)





Novel berjudul Seputih Salju Michigan karya Dion Ginanto, seorang guru Sekolah Menengah Atas (SMA) di Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi, diterbitkan pertama kali pada bulan Juni 2017 oleh Grasindo, dan saat ini sudah didapatkan di jaringan toko buku Gramedia dan toko buku besar lainnya. 

Novel ini bercerita tentang perjalanan seorang guru SMA di Provinsi Jambi yang menempuh pendidikan masternya di negeri Paman Sam - Amerika. Nama guru itu yaitu Dzaki Ginanto. Pendidikan masternya merupakan perjuangan keras seorang Dzaki Ginanto mendapatkan beasiswa fullbright, yang kemudian berlanjut ke jenjang doctoral. Selama menempuh pendidikan tersebut di sebuah Universitas terkemuka di Amerika, Dzaki menemui riak-riak kehidupan seperti : dilema percintaan, rasisme, penculikan. Namun pada akhirnya, Dzaki menemui happy ending dengan menikahi perempuan yang sekufu dengannya dalam hal agama.

Keunggulan novel ini ditulis dengan bahasa yang ringan dan mengalir. Pengalaman-pengalaman tokoh Dzaki tentang rasisme, toleransi, seluk beluk kampus, organisasi mahasiswa dan beberapa wilayah di Amerika genap beserta gambaran pemandangan yang dideskripsikannya menjadi hal yang menjual, disamping sosoknya yang berhasil lolos beasiswa fullbright di Amerika. Point tersendiri bagi publik Jambi ketika sosok Dzaki digambarkan sebagai suku Jawa yang telah menetap dan lahir di Rimbo Bujang-Tebo-daerah di Provinsi jambi. Setidaknya di novel yang ditulis Dion Ginanto yang juga suku Jawa dan kelahiran rimbo Bujang Tebo ini, juga menggambarkan bagaimana kondisi Jambi.

Dion Ginanto agaknya menuliskan perjalanan hidupnya selama di Amerika dan di Jambi ke dalam novel ini. Fakta dan fiksi tentang penulisnya agak sulit pembaca pisahkan, karena Dion meramunya dengan apik dan ringan. Tak perlu berpikir keras dan menghayati mendalam membaca novel ini. Dalam hitungan satu jam setengah , saya sendiri telah tuntas menyelesaikan membaca novel sebanyak 184 halaman ini. Seringan bentuk fisik novelnya dan tema yang diusungnya ; ke Islaman, Syariat, perempuan dan laki-laki, jodoh.

Sama halnya dengan masa booming novel Ayat-Ayat Cinta, novel ini memiliki nafas yang sama. Penggambaran manusia yang didikotomikan atas Hitam dan Putih, Baik dan Jahat, Saleh-Salihah dan Tidak Saleh - Tidak Salehah begitu mewarnai. Tidak ada manusia yang abu-abu disini, tokoh utamanya pun menggambarkan dirinya sempurna, ideal, saleh, punya kriteria tinggi, punya idealisme tinggi dalam menakar dirinya dan menakar orang lain dalam batas Hitam Putih seperti di atas. Begitu pula tokoh Dzaki yang digambarkan dan menggambarkan dirinya: Shaleh, pria Idaman, tanpa cela dan dosa.

Bagi yang tidak paham bagaimana sastra Islami wal Syariati bertumbuh dan mengedepankan kesadaran religius kepada manusia, akan menganggap novel jenis ini dipenuhi tokoh yang kelewat narsistik dan sombong mengambarkan keputihan dirinya yang seolah-olah tidak menyisakan ruang kepribadian abu-abu, tanpa dosa dan cela. Namun, bagi yang memahaminya hal seperti ini merupakan pemicu menyebarkan ajaran dakwah dan memang selayaknyalah manusia menjadi sempurna, terlepas penilaian orang bagaimana.

Satu lagi yang menjadi ciri utama sastra Islami wal Syariati, penggambaran dan persepsinya terhadap perempuan : peran maupun kedudukan. Perempuan dalam sastra jenis ini merupakan objek perintah keshalihan beragama, dan sekaligus juga objek dilema dalam percintaan yang dialami tokoh berjenis kelamin laki-laki. Tak ada tempat bagi perempuan sebagai subjek, tetapi beruntungnya Dion menambahkan agak sedikit pilihan bagi tokoh perempuan bernama Wati yang memendam cinta padanya dan awalnya tidak kesampaian kemudian menjadi bersatu dalam pernikahan.

Bagaimanapun juga Dion telah berhasil membawa nama penulis Jambi dan tema tentang ke Jambian di panggung sastra nasional dengan diterbitkannya buku ini. Publik di luar Jambi barangkali akan sedikit mengenal salah satu tempat penghasil karet di Jambi yang bernama Rimbo Bujang di Kabupaten Tebo - provinsi Jambi, dan genap dengan kehidupan petani karet yang kebanyakan merupakan orang suku Jawa dan telah lama di transmigrasikan ke Jambi, kemudian telah hidup secara turun temurun.

Buku ini rencananya akan didiskusikan di toko Buku Gramedia Jambi pada 0 Juli 2017, jam 14.00 wib sampai dengan selesai, penulisnya akan hadir pada acara tersebut.


Ditulis oleh Wenny Ira R
Di Laman KOMPASIANA

Comments

Popular posts from this blog

Sampling

This slides provide you:  1. the definition of sampling  2. sampling frame 3. determining the size of your sample  4. sampling procedure (Probability and non-probability)  Please follow/download the link for the Power Point Slides

The Legend of Jambi Kingdom (Narrative Text)

   Image: https://www.gambarrumah.pro/2012/10/400-gambar-kartun-rumah-adat-jambi.html Once upon a time, there were five villages, Tujuh Koto, Sembilan Koto, Petajin, Muaro Sebo, and Batin Duo Belas. The villagers of those five villages lived peacefully. They helped each other. Soon, the number of villagers grew highly. The villagers thought that they needed a leader to guide them. They wanted to have a king. So, the leaders from the five villages had a meeting. They wanted to set the criteria who could be their king. "Our king should be physically strong," said the leader from Tujuh Koto. "I agree. The king should be able to protect us from the enemies, "said one leader. "Not only that. He should also be well respected by us. So, the king should be strong and have good manners," said the leader from Petajin. "Then, let’s set the criteria. I have a suggestion. The king should be strong from fire. He cannot feel the pain if we burn him," said leade

The Legend of Jambi (Narrative Text)

                                                    Gambar: http://www.ceritadongenganak.com   Once upon a time, there lived in Sumatra Island a very beautiful girl, Putri Pinang Masak. The girl was also a very kind-hearted person. This made everyone liked her so much. Many youth and princes from other countries desire her to be his wife. Nevertheless, she refused their proposals because she had not wanted to get married yet. One day, there was a very wealthy king, the king of the east kingdom, coming to her village. He proposed to marry her. Putri Pinang Masak was afraid to refuse the king’s proposal although she actually did not love the king, the ugly-faced man, at all. She knew that the king would be very angry and there would be a battle if she refuse his desire. Putri Pinang Masak was so confused before she got an idea to refuse the king’s proposal. Then she said to the king that she accepted his proposal on one condition. The king should be able to build a very large and beautif