Cerita Sebelumnya
Matahari seakan enggan
terbit di atas langit SMANDELAS. Awan seolah terlihat muram. Suara burung yang
biasa berkicau di pepohonan depan kelas, kini seolah menghilang. Hening, hanya
rekaman bel pertanda pergantian jam pelajaran yang selalu memecah kesunyian.
Lima hari berlalu. Jamal
belum diketemukan. Polisi belum juga mendapatkan klue. Sekolah telah berusaha
mencari keberadaan Jamal, siang dan malam. Seluruh warga sekolah digerakkan.
Tapi belum juga membuahkan hasil yang signifikan.
Diko, Rudi, Riko, dan
Juno seolah tak lagi mendapat kepercayaan. Setelah kejadian pencarian Jamal di
sumur, mereka berempat tak pernah lagi diajak bertukar fikiran untuk mencari
keberadaan Jamal. Terkahir kalinya, mereka dimintai keterangan oleh pihak
Polres Batanghari. Setelah itu, mereka ditinggalkan.
Namun, Diko malah termotivasi
untuk membuktikan bahwa ada hal misterius di balik hilangnya Jamal. Karena
ketika ia mempersiapkan dekorasi ia merasakan ada hal aneh malam itu: suara
langgam jawa, lolongan anjing, pintu lab yang terbuka dan tertutup sendiri, bau
pandan dan melati, juga Juno yang tiba-tiba terbaring di sumur tua. Diko
memutuskan untuk kembali bermalam di SMANDELAS barangkali bisa mendapatkan
petunjuk tentang keberadaan Jamal.
Selasa malam ia pamit
kepada orangtuanya untuk belajar kelompok. Tak mungkin ia berbicara jujur.
Karena mustahil orangtuanya mengijinkan.
Diko pergi sendirian,
tak mengajak Riko, Rudi, dan Juno. Ia tak ingin merepotkan temannya. Tak ingin
juga Juno atau yang lain kesurupan.
Ia harus membuktikan,
setelah ia merasa malu akan ide yang ia cetuskan beberapa hari lalu.
Ia memulai dari ruang
audio. Kali ini ia membawa senter barangkali, nanti PLN tiba-tiba mati.
Ruang Audio terkunci,
tak ada tanda-tanda apapun di sana. Sekolah hening, bener-benar berbeda dengan
malam ketika mereka mempersiapkan dekorasi untuk perlombaan bulan bahasa. Tak
terdengar suara burung hantu, tak ada suara gending Jawa, tak ada pula suara
lolongan Anjing malam.
Ia memberanikan diri
berjalan ke arah WC untuk mengecek tempat ketika Juno melihat penampakan siswa
memakai sergam OSIS dengan wajah penuh darah, mata melotot seolah akan keluar.
WC laki-laki sepi, tak
ada petunjuk apapun. Hanya terkadang terdengar suara tetesan air dari keran
yang udah usang sehingga air sedikit bocor. Bau pesing pun masih bertengger di
sana.
Beda dengan WC
perempuan, nyaris tidak tercium bau. Bahkan terdapat pewangi di dalam WCnya.
Mungkin, para siswa pria beranggapan bau pesing adalah aroma terapi yang tidak tertandingi.
Diko hanya tersenyum simpul, melihat dua tabiat yang 100% berbeda antara murid perempuan
dan laki-laki dalam memperlakukan Per-WC-an.
Diko melanjutkan perjalanan
menuju sumur tua tempat di mana Juno pingsan. Tak seperti biasanya, malam itu hening
sekali. Tak ada suara anak-anak muda yang biasanya memacu motor mereka untuk
balapan liar. Padahal ketika benar-benar diadakan lomba balap, mereka tak
pernah mau ikut serta.
Suara burung hantu pun hanya
terdengar samar. Yang ada hanya suara jangkrik yang berlomba memikat daya tarik.
Katak pun tak begitu bergairah untuk bernyanyi malam itu.
Namun, tiba-tiba bulu
kuduk Diko berdiri. Ada hembusan angin tipis menerpa wajahnya. Diko kaget
sedikit saja. Kali ini rasa penasaran ingin menemukan jawaban, mengalahkan rasa
takutnya pada keadaan.
Ia juga mendengara suara
langkah sepatu di belakangnya. Seperti ada sosok yang mengikuti. Diko arahkan
senter ke belakang, namun tidak ada. Hanya koridor yang sedikit terang dengan
lampu usang yang terpasang.
“Ah, itu hanya halusinsiku
belaka.”
Ia melanjutkan
langkahnya, saat sampai di kantor guru, tepatnya di tangga ia melihat kelebatan
sosok laki-laki berseragam OSIS. Tidak begitu jelas, karena, tiba-tiba lampu
senternya mati. Sialnya, PLNpun tiba-tiba ikut mati.
“deg..deg..deg..deg..deg..deg..”
Tiba-tiba dada DIko
berdebar. Gelap sekali di sekolah, lampu senter entah mengapa tiba-tiba tak mau
berfungsi. Padahal seingat Diko baru satu minggu battery senter diganti baru.
Diko menghibur diri,
mencoba memotivasi diri agar tetap berani. Namun, kadang situasi yang gelap di
tambah sosok yang tadi ia lihat samar, kini menghilang dalam kegelapan.
Pintu kelas tepat di
samping Diko berdiri, mulai terbuka secara pelan. Seolah ada yang membuka
pintu. Lalu, ada suara kursi tergeser. Suara langkah kaki perlahan terdengar
mendekatai. Suara langkah itu semakin keras terdengar. Semakin dekat, dekat,
dan dekat.
Gemetara, Diko masih
berusaha, menggerak-gerakkan center, siapa tahu bisa hidup kembali. Diko mulai
cemas.
“Ayolah, kumohon center…
hiduplah…” Ia juga menyalahkan diri sendiri mengapa di saat genting seperti ini
ia lupa membawa Handphone. Setidaknya, lampu handphone mampu memberinya
penerangan.
Sebenarnya Diko ingin
berlari saja, namun rasa penasaran mengalahkan segalanya. Dipukul-pukulkan
center itu, belum juga hidup.
Sementara kursi di dalam
kelas mulai berasa ada yang mengakat, dan dilemparkan.
“brak…..” keras sekali,
seperti orang yang sedang emosi, dan membanting kursi sejadi-jadi.
Lampu center Diko masih
belum hidup,
Dari belakang ia
mendengar suara siswa pria tertawa pelan. Ia terdengar, lalu kemudian
menghilang. Suara tertawa, kini berubah menjadi tangisan. Leher belakang diki
dingin, seperti ada seseorang yang meniupkan udara. Suasana semakin mencekam.
Suara tangisan, kini
berubah menajadi soerang pria yang bersiul-siul melanggamkan lagu lingsir
wengi. Langgam Jawa yang sering Diko dengar di film horor di TV.
“ayolah… ayolah.” Drama
center dan PLN malam itu memang membaut suasana menjadi semakin mencekam.
Tiba-tiba ada sekelebat
bayangan seorang laki-laki berlari kecang tepat di depannya. Diko, alihkan
pandangan pada bayangan itu, namun hilang ditelan gelap.
Diko masih mencoba,
menggerak-gerakkan lampu center, dengan harapan dapat hidup.
“byar…, alhamdulillah”
lampu center kecil itu kembali hidup.
Namun betapa kagetnya
Diko, ketika cahaya diarahkan ke depan, terlihat wajah siswa di depan nya. Wajah
seram itu adalah… JAMAL.
Mukanya putih pucat,
bibirnya lebam, sedikit mengeluarkan darah. Selain pucat, wajah Jamal juga
terlihat membengkak seperti mayat yang baru saja ditemukan tenggelam di sungai.
Tatapan Jamal kosong, ita tak mengucapkan satu kata apapun.
Diko mencoba mengusai
diri, ia coba kucek matanya. Memastikan apa yang dia lihat. Namun, Diko
terkejut ketika ia buka kembali matanya, Jamal menghilang.
“astahgfiullahaazim…” Ah
cuma ilusiku saja. Tapi mengapa Jamal wajahnya begitu menyeramkan. “Apa
jangan-jangan….” Batin Diko.
Antara takut dan
penasaran terus mengusai Diko. Mudah-mudahan Jamal muncul lagi, dan sehingga ia
bisa ngobrol dengannya. Menanyakan kemana saja selama ini. Tujuan utama ia ke
sekolah adalah untuk memecahkan teka-teki keberadaan Jamal. Namun di sisi lain,
ia pasti akan ketakutan bila kembali melihat wajah pucat pasi Jamal.
Diko melanjutkan
perjalanan ke Sumur Tua. Ia sudah mulai terbiasa dengan suara pintu yang terbuka
sendiri. Meja yang bergerak-gerak. Suara cekikikan murid di dalam kelas. Sampai
pada bunyi goresan spidol.
Suara itu hilang, saat
Diko mengarahkan cahaya ke sumber suara. Namun ketika Diko memindahkan lampu
centernya, suara gaduh itu kembali lagi.
Langkahnya terhenti, ketika
tiba-tiba ia mendegar bisikan:
“Diko….. Diko… kau mau
ke mana…? Diko…. Diko…. Tolong aku.”
Nyali Diko mulai ciut.
Suara itu parau, namun terngiang-ngiang. Ia arahkan lampu center ke arah suara,
namun tak ada sesiapa di sana.
Sebenarnya semakin merinding
dan berdebar-debar. Kakinya mulai gemetaran, langkahnya tak semantap di awal ia
memaksuki sekolah. Apa boleh dikata, ia harus tetap kuat dan berani agar sampai
ke tujuan kahir, Sumur Tua, tempat Juno pingsan.
Sampai di ruang kelas
XII Mia 6, kembali ia dikejutkan dengan kelebatan orang yang lari ke arah Sumur
Tua. Namun kali ini, ita tidak memakai seragam sekolah. Lampu senter Diko
berhasil menangkap kelebatan lari sosok tersebut, ia memakai baju gelap-gelap
dan memakai blangkon gelap pula. Ia terus berlari, hingga lampu center Diko tak
menjangkaunya lagi.
“Berhenti, Pak….
Berhenti…” Sia-sia saja. Sosok bayangan hitam tersebut tak akan mungkin
terkejar. Ia berlari secepat kilat. Tapi, kalau tidak dicoba tidak akan
membuahkan hasil.
Diko berencana memacu
gerakan untuk mengejar, sosok tua, namun tiba-tiba kakinya tersandung sebuah
benda. Seperti ada yang menarik kakinya.
“brak….” Diko terjatuh,
lampu center terlempar dua meter dari jangkauan tangannya, namun tidak mati,
masih bersinar. Dari sinar itu, Diko melihat bahwa kakinya tersandung sosok
siswa yang berbaring di tengah jalanan koridor.
Diko mencoba bangkit,
namun kakinya berasa kaku, tanganya pun bergetaran. Ia melihat sosok siswa
memakai seragam OSIS lengkap tengah berbaring menghadap dirinya.
“Oh tidak.” Ujar Diko menggigil.
Baunya anyir luar biasa.
Darah mengalir, dari pelipis matanya. Mukanya pucat, matanya melotot seolah
sedang marah pada Diko. Mulut Diko masih kaku, baru kali ini ia melihat bakhluk
aneh hanya berjarak 1,5 meter darinya. Samar-samar dari cahaya lampu center,
makhluk itu ingin mengatakan sesuatu pada Diko, tapi tiba-tiba menghilang,
secara misterius. Yang tersisa di sana, hanya pot bunga yang tergeletak di
tengah jalan.
Diko bergumam, tak
mungkin ia tersandung pot bunga ini. Ia merasakan benar, kakinya tersandung
benda yang tidak keras, seperti tubuh manusia. Dan apa yang dia lihat barusan,
sangat jelas. Bukan ilusi, bukan pula fantasi. Bahkan ia masih mengingat bau
anyir, dari makhluk yang penuh darah di mukanya. Diko makin penasaran, karena
ia melihat sekilas, makhluk tadi ingin mengatakan sesuatu.
Diko bangkit kembali, untuk
melanjutkan perjalanan ke sumur. Karena tak mungkin pula mengejar bayangan
sosok berbaju dan berblangkon hitam yang telah mengilang dari pengelihatan.
Ia melangkaha dengan
pasti, meski rasa takut masih menghantui. Baru satu langkah, ia berjalan, Pundak
kanannya ditepuk oleh seseorang. Tangan itu masih menempel di punggung Diko.
Tangan itu dingin, ia arahkan cahayan ke pundaknya, tangan putih pucat pasi. Kukunya
hitam dan panjang.
Diko ragu-ragu untuk
balik, karena ia tak ingin lagi melihat sosok menyeramkan seperi yang baru saja
ia lihat. Namun, Diko memutuskan untuk berbalik arah, dan
“aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa……..”
Makhluk yang tadi
berbaring dan menjatuhkan Diko berteriak keras bukan kepalang. Sampai telinga
Diko berdenging. Diko pun secara reflek teriak:
“aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa…”
Wajah makhluk itu
kelihatan sangat murka. Bagai wajah zombie yang menggeleng ke kanan dan ke
kiri, seolah ingin menerkam Diko malam itu juga. Mulutnya pun sudah
mengelurakan taring. Darah, dari pelipis matanya belum juga berhenti mengalir.
Untung saja Diko masih
bisa menguasai diri. Pelan tapi pasti, Diko mulai bisa melfazkan ta’awuz
dan basmallah. Lalu, secara lirih ia membaca ayat kursi, yang semakin
lama-semakin ia baca dengan keras pula. Semakin keras Diko melafazkan ayat
kursi, semakin pula kesakitan yang dirasa siswa berseragam misterius itu. Ia
menggeliat seolah kepanasan, hingga akhirnya ia benar-benar menghilang dari
pandangan Diko.
“alhamdulillah….”
Diko bernafas sedikit
lega. Setidaknya ia mampu mengusir makhluk misterius yang menghantuinya. Semoga
ia tidak datang mengganggu lagi.
Namun, di luar dugaan.
Ruang kelas di ujung, dekat Sumur Tua gaduh sekali. Kursi terdengar dibanting,
meja pun terdengar terpelanting. Suara jeritan laki-laki terdengar dari dalam
kelas silih berganti. Papan tulis terdengar diketuk-ketuk. Gaduh sekali, namun,
Diko sengaja abaikan semua itu. Pandanganya lurus ke depan menuju sumur tua. Ia
sama sekali tak berani menoleh kelas yang dilewatinya. Ia terus berjalan, padahal
sekujur tubuhnya merinding dan keluar keringat dingin.
Sesampainya di sumur,
Diko terkejut. Di sana terdapat peralatan semacam tempat bersemedi. Ada tikar
kecil yang di depannya ada kendi dari tanah, serta bejana dari tanah yang
berisi bunga yang ia hitung berjumlah tujuh warna, ada bekas bakaran dupa atau
kemenyan.
Wah berarti benar selama
ini hipetesis Diko, bahwa ada yang tidak beres dari sumur tua itu.
Sayang Diko saat itu
lupa membawa HP, untuk dijadikan bukti bahwa memang ada sesuatu di sumur tua
itu. Diko yakin ini semua ada hubungannya dengan hilangnya Jamal.
Diko berfirkir keras, ia
tidak ingin menyia-nyiakan hasil yang ia dapat malam ini. Ia ingin membuktikan
pada guru dan kepala sekolah bahwa ada bukti nyata di sumur tua sekolah. Ada
praktik pemujaan Setan di sana, atau apalah itu namun instinct Diko pasti ada
hubungannya dengan hilangnya Jamal. Andai saja ia membawa HP malam itu.
Ia tidak ingin
membiarkan momen ini berlalu begitu saja. Ia berlari menuju parkiran motor,
memacu kendaraanya dengan kecepatan tinggi menuju rumah kepala sekolah. Ya,
kepala sekolah harus tahu, dan harus melakukan penyelidikan ini. Ia tak
pedulikan lagi suasana mencekam di sepanjang koridor yang ia lewati.
Setelah Lima menit
berkendara tibalah ia di rumah pak Hamdan, sang Kepala Sekolah. Entah apa isi pembicaraan Diko dan Kepala
Sekolah, namun mereka kemudian berboncengan untuk menuju kembali ke Sumur Tua.
Diko sangat bersemangat
untuk membuktikan argumennya adalah benar, ada hal gaib yang menyebabkan Jamal
menghilang. Bahkan Pak Hamdan sampai terseok-seok mengikuti langkah cepat Diko
setelah memarkir kendaraannya.
Lampu PLN sekolah telah
hidup ketika mereka tiba di sekolah. Suasana pun tidak mencekam seperti awal
Diko menyambangi sekolah. Suara raungan sepeda motor anak muda tanggung yang
menggelar balap liar pun semakin terdengar keras. Sama sekali tidak ada kesan
menakutkan malam itu. Kelas-kelas yang tadinya terdengar bunyi suara kursi
terlempar, dan meja yang terhempas pun kini semua kembali rapi.
Aneh, seperti tidak ada
apapun yang terjadi. Vas bunga yang tadinya tergeletak di tempat Diko terjatuh
juga sudah kembali ke tempatnya. Semua normal, seolah tidak pernah terjadi
apa-apa di sekolah.
“Mana Diko, mana tempat
semedi yang kamu ceritakan tadi?” tanya pak Hamdan setibanya mereka di sumur
tua.
“Ta..ta..tadi di sini
pak. Saya tidak bohong Pak. Seratus persen, saya tidak bohong Pak. Saya berani
bersumpah. Tadi ada dupa, kembang tuju warna, ada bejana, dan air kendi dari
tanah. Pak Hamdan, percayalah, saya tidak bohong Pak.”
Diko kaget bukan
kepalang, semua yang dia lihat barusan hilang begitu saja. Tidak meninggalkan
sisa. Ia kini berdiri terpaku, tak habis fikir. Kembali ia mengecewakan kepala
sekolah.
“Sudahlah Diko, hentikan
halusinasimu. Jangan ganggu Bapak lagi dengan cerita-cerita semu-mu. Bapak
benar-benar kecewa.” Nada Pak Hamdan kini meninggi.
“Tapi Pak, saya
benar-benar menyaksikan sendiri, ada tempaan pemujaan di sini Pak.”
“Sudahlah, simpan cerita
konyolmu itu.” Bentak Pak Hamdan.
“Sekarang antar Bapak
Pulang, dan kau juga harus segera pulang. Jangan pernah lagi membuang-buang
waktumu untuk cerita takhayul.”
Diko tertunduk layu. Tak
pernah ia mengalami pengalaman sepahit malam itu. Kembali ia mengecewakan orang
nomor satu di sekolah tempat ia menimba ilmu.
Suara deru balap liar
tak lagi terdengar seru. Nyanyian jangkrik tak lagi terdengar merdu.
Rembulanpun tampak enggan menampakakn sinarnya malam itu. Seolah alam pun
menghakimi tingkah Diko yang menghamba pada ilusi semu.
Selepas malam itu, Diko
manjadi siswa murung tak menentu. Pendiam, tak peduli pada lingkungan sekitar.
Ia kecewa, kecewa pada intuisi yang ia ciptakan sendiri. Ia bahkan tak lagi
percaya pada dirinya sendiri.
Ia malu, pada guru, pada
orangtua, pada kawan satu kelas, pada semua, pada penjaga kantin, pada penjaga
sekolah, pada security. Seolah seluruh mata, memandangnya dengan sinis. Bahkan
kawan dan gurunya memberikan julukan Diko Ilusi. Karena hanya mengedepankan
ilusi bukan rasionalitas.
Ia bosan, hingga sore
itu ia mendengar bisikan:
“Diko, datanglah ke
Sumur Tua. Terjun, terjun maka kau akan menemukan kehidupanmu yang abadi.”
Bisikan itu terus
menerus terngiang. Semakin ia melawan, semakin bisikan itu terngiang. Diko
berkonsultasi pada diri. Ia bertanya pada alam. Ia bertanya pada hembusan angin
malam, rembulan yang mengintip dari balik awan, pada bintang gemintang yang
kadang bekejaran.
Keputusannya bulat,
besok seusai sekolah ia ingin mengakhiri hidupnya di sumur tua. Pada hari
Senin, dengan memakai seragam OSIS lengkap. Setidaknya itu bisa menebus rasa
salahnya pada guru-guru dan kepala sekolah yang ia kecewakan.
***
BERSAMBUNG
Kamis Legi (Malam
Jumat), 4 Juni 2020
Comments