“Salah satu di antara
kalian harus menemaniku di sumur itu. Perjanjian itu telah kalian langgar. Maka
tiap tahun harus ada siswa yang menjadi istriku.”
Billy terus meronta,
menedang, menghardik sesiapa yang mencoba memegangi tubuhnya. Teman sekelas
Billy terlihat panik.
Entah dari mana
datangnya, dan siapa yang mengundang, tiba-tiba pria berbaju hitam, memakai
blankon hitam khas Jogja datang membawa air dalam Bejana.
“pyuh…” pria berbaju dan
blankon hitam menyemburkan air ke muka Billy, setelah sebelumnya berkomat-kamit
singkat.
“ha..ha…ha… air mu tak
mempan dukun tua. Aku akan tetap memakai raga Billy. Hrrrr…”
Billy kembali meronta,
tenaganya sungguh terlampau kuat. Dua siswa menahan tangan kanan, dua lainnya
di tangan kiri, sementara ada empat siswa lainnya yang memegang dua kaki Billy.
Namun, seolah kedelapan siswa kelas 12 Mia 4 itu tak sanggup menahannya.
Pria berbaju dan blangkon
hitam pun entah kapan tiba-tiba tak ada lagi di sekitar Billy.
“Cepat panggil Pak
Ahmad.” Sahut Doni, pria bertubuh paling besar yang sedari tadi memegangi
tangan kanan Billy. Siswa laki-laki saja yang berani memegangi Billy, sementara
siswa perempuan mengintip dari dalam ruangan kelas.
Hanya berselang 10 menit
setelah pergantian kelas, Billy tiba-tiba berteriak, meronta-ronta di kaki
sumur tua. Kebetulan kelas itu kosong karna Pak Amir sedang mengikuti Diklat di
sebuah hotel di Jambi.
Entah mengapa, sekolah hari itu sangat sepi.
Kelas sebelah tertutup rapat, karena sedang praktek pengambilan nilai sepak
bola. Sementara Ruang Multimedia juga terlihat kosong. Siswa Kelas XII IPA 5 di
sebelah Multimedia pun tampaknya mereka belajar di labor kimia. Kelas lain
jaraknya lumayan jauh sehingga tak akan melihat atau mendengar teriakan Billy
yang sebenarnya lumayan keras. Tinggal Uni kantin yang kelihatan takut dan tak
berani mendekat.
“Pak Ahmad tidak ada,
guru piket hanya ada Bu Ratih, sementara di ruang atas juga hanya ada bu Dini
dan bu Yeni.” Rudi tergopoh-gopoh berlarian mencari Pak Ahmad guru agama Islam,
atau setidaknya guru lelaki lain yang dapat memberi solusi pada kasus kesurupan
Billy.
Suasana semakin mencekam.
Billy terus meronta, sembari mengucapkan umpatan-umpatan tak beretika. Matanya
melotot, terkadang mulutnya menyemburkan liur berbau anyir seperti telur.
Hari yang mendung
menambah suasana horor pagi itu. Padahal tadi setelah pelajaran pertama usai,
Billy terlihat biasa saja. Terakhir kali, ia duduk sendirian di atas lingkaran
semen sumur tua. Sumur tua itu tepat berada di sisi kiri kelas 12 IPA 4. Besar,
dan menganga. Entah mengapa, pihak sekolah tidak menutup sumur tersebut,
padahal salah-salah, dapat membahayakan siswa.
Hanya genangan sisa-sisa air dan tumpukan sampah, dan terkadang ada
binatang yang tak sengaja terjerembab dalam sumur itu.
Tak banyak siswa yang
berani duduk di atas sumur. Padahal semen yang melingkari sumur sangat tebal
hingga sangat nyaman untuk kongko-kongko. Di samping sumur juga terdapat pipa
besi besar, bekas keran air untuk berwudhu, lumyan kuat untuk duduk-duduk
sambil makan snack atau kerupuk. Sumur itu juga diberi atap seng yang
benar-benar membuat suasana teduh.
Konon katanya, di sumur
itu pernah ada siswa laki-laki yang bunuh diri. Sehingga sekolah memutuskan
untuk tak lagi mengoperasikan sumur tersebut. Banyak juga pengakuan siswa yang
ketika lewat sumur itu bulu kuduk mereka langsung berdiri. Namun tak sedikit
pula siswa termasuk guru yang tak mempercayai cerita-cerita horor yang beredar.
Maklum mereka saat ini lebih percaya dengan realita, efek rumah kaca, PUBG atau
Mobile Legend, atau cerita-cerita sampah mama-mama sosialita.
Padahal tak sedikit siswa
yang ketika mengikuti ekskul hingga malam, tanpa sengaja melihat bayangan siswa
berseragam lengkap tengah duduk di pinggiran sumur tua SMANDALAS.
Toni misalnya, pada saat
ikut kemah penerimaan tamu ambalat, berkenalan dengan siswa yang baru pindah
dan sekarang duduk di kelas 12 IPA 1, namun keesokan harinya ketika Toni
mengecek ke kelas 12 IPA 1 tak ada siswa baru di kelas itu.
Atau Adam, yang hampir
setiap sore menjelang malam usai latihan basket, selalu melihat ada bayangan
hitam yang masuk ke dalam sumur tua itu.
Namun, mereka hanya
menyimpan cerita mereka masing-masing di dalam hati. Paling jauh mereka
ceritakan di buku diari. Mereka tak ingin berakhir menerima cibiran, “hari gini
masih percaya setan, setan radikal kali…”
Namun, pagi itu,
satu-persatu misteri sumur tua mulai menampakkan tanda-tanda. Hampir setengah
jam Billy meronta. Hingga akhirnya, Pak Takim yang terlihat alim, meski bukan
guru agama bergegas lari setelah diberi kabar oleh salah satu siswi.
“Assalamualikum ya
makhluk Allah” kalimat pertama yang keluar dari mulut Pak Takim.
Billy tak menjawab, malah
memalingkan muka.
“Assalamualaikum wahai
makhluk Allah.” Kali ini Pak Takim setengah berteriak.
“Waalaikumsalam…” Jawab
Billy ketus dengan mata seperti mau Meletus.
“Aku tidak ingin keluar
sebelum aku mendapat siswa yang menemaniku di sumur tua itu.”
“Itu tidak akan terjadi”
Sahut pak Takim Pasti. Dengan yakin dan mengharap pertolongan Ilahi, Pak Takim
membacakan Ummul Kitab,ayat-ayat Quaran, dan tak lupa ayat kursi. Setelah
kurang lebih tujuh menit, Billy memuntahkan cairan kuning. Sedetik kemudian
Billy sadar, namun tenaganya sangat lemas.
***
Setahun setelah kasus
Billy, SMANDELAS terlihat seperti biasa. Hanya saja, sumur tua itu tetap di
sana mengaga, dan tak terjaga.
Suatu malam, OSIS tengah
sibuk mempersiapkan event memperingati bulan bahasa. Tak ada pilihan lain,
mereka harus menginap di SMAN 12 Batanghari.
Jarum jam menunjukkan
pukul 21.00 WIB. Siswi putri harus pulang, tinggalah 5 siswa yang bertahan
untuk menyelesaikan dekorasi untuk perlombaan besok pagi. Rudi, Riko, Juno,
Diko, dan Jamal. Mereka semua kalas Sebelas, kecuali Jamal yang masih duduk di
kelas Sepuluh.
“Guys, aku ke WC dulu yo.
Dak tahan lagi nih.” Jamal minta ijin pada temannya yang masih asik dengan
tugasnya masing-masing di ruang Audio.
“Ok, bro… tapi kalau
boleh aku saranin, gak usah ke WC yang deket sumur tua itu ya.” Rudi
mengigatkan.
“Ngapo emangnyo jok eh,
dak hal lah… Aku lah mulai bayar uang komite. Aku berhak pakai WC.”
“Terserah kau lah jok,
aku lah ngingatin.” Jawab Rudi santai.
Jamal keluar dengan
ditemani sinar dari HP Samsung yang sudah tergolong tua. Tak begitu terang,
namun cukup untuk sekedar memberi tahu jalan.
“Sial, gak ada air nih
WC. Terpaksa nih ke WC dekat sumur tua.”
Jamal, menelusuri koridor
kelas, kemudian kantor TU, dan BK. Bulu kuduknya berdiri tiba-tiba. Sayup-sayup
ia mendengar musik campur sari traditional dengan lagu “Lingsir Wengi” dengan
sinden berdayu-dayu. Padahal tidak ada di sekitar sekolah yang sedang
mengadakan pesta pernikahan. Selain itu SMANDELAS berada di tengah-tengah
perkantoran, sehingga kecil kemungkinan ada warga yang sedang menghidupkan
lagu, apalagi sudah lewat tengah malam.
Malam itu semakin
mencekam ketika tak seperti biasa Jamal mendengar lolongan Anjing yang silih
berganti dan bersahutan. Ia melirik jam di ponselnya, pukul 1 pagi.
Gedubrak…. Pintu kelas
XII IPS 2 tiba-tiba saja berbunyi.
“aih, paling-paling juga
kucing.” Jamal menghibur dirinya sendiri. Padahal ia sudah mulai merinding dan
keluar keringat dingin. Namun, tak mungkin ia tak membuang hajatnya.
Jamal, meneruskan
langkahnya. Tiba-tiba Ia dikejutkan dengan sosok bayangan hitam, lalu kursi dan
meja di kelas XII IPA 6 bergerak-gerak sendiri.
“Astaghfirrullahhal
Azim.” Spontan, kalimat itu keluar, padahal selama ini Jamal jarang sekali
solat lima waktu. Sejak SMP ia sudah sering kongkow-kongkow. Merokok bukan lagi
asing baginya. Bahkan, anting sebelah kanannya baru saja ia copot ketika masuk
di SMANDELAS.
Jamal masih terus
memberanikan diri. Entah dari mana asalnya, namun tiba-tiba angin berhembus
keras menampar dari belakang. Hingga Jamal tersungkur. HP nya terlempar. Dengan
merangkak ia mencoba meraih HP satu-satunya sumber cahaya. Namun kakinya berat,
tanganya pun seperti terkunci. Jamal terus memaksa untuk bergerak. Hampir saja
ia meraih HP itu, namun HP jamal bergerak sendiri, seperti ada yang menarik. HP
itu berpindah tepat di kaki sumur tua.
“Tolong… Tolong…” Jamal
berteriak sekuat dan sekencang-kencangya. Namun, seolah ia sedang berada di
ruang kedap suara. Ia menyesal, karna tak mengindahkan pesan Rudi. Kakinya
masih kaku, tanganya lemas. Ia pucat pasi.
Tiba-tiba dalam keadaan
yang menakutkan itu, muncullah siswa lengkap dengan seragam sekolahnya.
“Ada yang bisa saya bantu
bang?”
“e..ee..ee..ee…” mulut
Jamal terkunci. Bukannya ia bahagia, namun ia takut bukan kepalang. Ternyata
cerita yang selama ini beredar benar adanya. Inilah jin jahat yang selama ini
menjadi buah bibir di sekolah ini. Dalam gelap dan sedikit cahaya HP yang
tergeletak di tanah, Jamal dapat melihat wajah siswa itu. Mukanya pucat,
pelipis kiri mengeluarkan darah. Siswa itu bau anyir seanyir anyirnya anyir.
Bunyi lolongan anjing tak
berhenti bersahutan. Pintu kelas XII IPA 4 pun membuka dan menutup secara
bergantian.
Siswa berpakian lengkap
itu meraih tangan Jamal, hingga mereka berdiri berhadap-hadapan.
“Selamat datang di Sumur
SMANDALAS”
Siswa berpakaian sekolah
lengkap itu ingin menjabat tangan Jamal.
“Jangan-Jangan ganggu
aku… jangan…”
Jamal ketakutan, dengan
sisa tenaga yang ia punya ia menghindar, mundur, mundur… dan….
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa…”
Tragis, Jamal terperosok dalam Sumur Tua.
Comments