Rudi yang barus saja menyelesaikan lukisan bahasa Kanji Jepang, Kaligrafi Arab, Kata Mutiara Bahasa Inggris dan Indonesia mulia merasakan ketiadaan Jamal. Sudah satu jam, Jamal belum kembali.
“Ke WC pasti cuman alibi ni Anak, pasti si Jamal Pulang” gumamnya dalam hati. Kegundahannya itu ia tanyakan pada Juno yang masih saja asyik mempercantik bagian podium dengan bunga-bunga buatan.
“Juno… di mano Jamal yo, apo balek dio dak?
“Entah lah jok eh, kalu dak ado pasti lah balek. Anak mama diok tuh.” Sahut Juno acuh, saking khusuknya dia pada kerjaannya membuat taman buatan.
Maklum, jika menjelang pukul 7 pagi belum selesai, pasti Nuri, si ketua OSIS bakalan murka. Sebenarnya ia tidak takut pada si Nuri, namun ia lebih ingin bertanggungjawab atas tugas yang telah ia sanggupi. Hari gini susah mencari sosok seperti mereka. Apalagi politikus di Senayan sana. Hanya sedikit yang bekerja untuk Rakyat, yang ada hanya kepentingan semata.
“Biak sayo cek motornyo jok, kalu motornyo dak ado, berarti dio balek tu lah.” Diko yang baru saja selesai menutup dinding belakang dengan kain hitam ikut menyela. Maklum, mereka berlima harus kompak, datang bersama pulang pun harus bersama pula.
“Ikut bos…” Riko yang tengah memasang Thumbler pada pohon buatan pun ikut andil. Maklum, mereka sudah berkomitmen untuk menyelesaikan tugas masing-masing. Dari kelimanya, hanya Jamal sendiri yang masih belum ada progress.
Setelah lima menit, Riko dan Diko kembali ke ruangan.
“Motor Jamal masih ado.” Riko dan Diko kompak memberi laporan pada kedua temannya di audio yang kelihatan tengah menyeruput kopi hangat di termos kecil yang disiapkan oleh petugas OSIS putri.
“Wah kemano budak tuh, udah satu jam lebih, belum balik. Mana kerjaannyo belum kelar lagi.” Juno Nampak ketus dan bersungut-sungut.
“Ya udah kita tunggu aja barang 30 menit, kalau belum kembali jugo kita cari di WC, mana tau dio pingsan pulak.” Rudi mampu menengahi sedikit kegalauan malam itu.
Mereka kembali mengerjakan tugas mereka yang hampir selesai. Sesekali mereka membantu pekerjaan Jamal untuk memasang kain hitam di podium depan.
Ruang audio yang mereka akan gunakan sebagai tempat perlombaan bulan Bahasa lumayan besar. Sekitar 15 x 10 meter. Ruang audio ini multi fungsi, bisa dijadikan tempat latihan teater atau menari, karena di tembok bagian belakang terpasang kaca ukuran besar dan tertempel di tembok dengan rapi. Di depan, terdapat podium yang lumayan besar, mampu untuk menampung group Band yang inging manggung, tarian, atau pertunjukan lainnya. Namun sayang, meski ruang tersebut dilengkapi dengan dua buah unit AC, ruangan tersebut tetap panas. Sebagai penggantinya setiap kali ada ajang perlombaan, panitia harus sibuk mencari pinjaman kipas angin.
Di samping kanan ruang audio adalah laboratorium Kimia dan Biologi. Kedua labor tersebut sudah terbilang tua, namun belum ada rencana untuk program peremajaan. Secara sekilas, dua laboratorium tersebut sekilas terkesan angker. Di samping kiri auditorium terdapat ruang Komite. Ruangnya berukuran kecil, namun mampu disulap mirip executive lounge. Lengkap dengan fasilitas AC bahkan Lemari Es. Di samping ruang Komite adalah ruang VIP. Ruang VIP sekolah ini mungkin hanya ada satu di Batanghari. Sesuai namnya, ruang ini hanya dibuka ketika ada acara-acara penting saja. Maklum, kain gordennya saja seharga 15 Jutaan.
Tepat di depan ruang audio adalah parkir mobil yang hanya mampu menampung dua unit saja. Di depan parkiran terdapat WC laki-laki dan WC perempuan. Keempat pengurus OSIS yakin bahwa Jamal berada di WC itu.
Tak terasa sudah 30 menit sudah mereka bekerja. Sesuai kesepakatan, jika Jamal tidak kembali, mereka harus mencari.
“Guys, gimana nih siapo nih yang nak cari Jamal.” Tanya Juno, siswa kelas XI Mia I berkacamata tebal, bercelana cingkrang, dan kerah baju yang selalu dikancing sampai ke atas. Khas gaya anak culun.
“Ya udah kita bagi tugas aja. Dua orang cari Juno, dua orang tinggal di sini selesaikan tugas yang belum kelar. Biar adil, kita hompimpah ya.” Lagi-lagi Rudi menawarkan solusi praktis.
Dari hasil hompimpah Juno dan Diko harus patroli ke luar mencari Jamal. Sementara Rudi dan Riko tetap di ruang audio. Baru saja Juno dan Diko berpatroli, tiba-tiba lampu mati. Musik HP yang mereka sambung ke Speaker pun ikut mati. Tiba-tiba ruang audio berubah menjadi tegang, suram, dan sunyi.
Sayup-sayup mereka mendengar lolongan Anjing bersahutan. Nyanyian jangrik dan kodok yang biasa berirama, tiba-tiba tiada. Hanya sesekali hembusan angin yang mulai kencang, memberi tanda bahwa hari hendak hujan. Sesekali ruang gelap mereka berubah terang saat sambaran kilat datang.
Sinar senter HP keempat pengurus OSIS cukup untuk memberi sedikit terang. Mereka tak mengantisipasi lampu PLN yang akan mati. Padahal, sudah menjadi tradisi di Batanghari, jika hujan datang maka listrik pun padam.
“Ayo bos, nunggu apolagi?” Sahut Diko si rambut kribo, yang selalu merasa mati gaya karena setiap kali ia panjangkan rambut selalu kena Razia. Juno si culun, yang mulai-meluai terbawa suasana mulai bimbang untuk keluar ruangan. Namun, rasa kesetiakawanan telah mampu memudarkan rasa takut di benak Juno.
Juno dan Diko bergegas keluar ruang audio untuk mencari adik kelasnya Jamal. Sementara Rudi dan Riko, dengan penerangan seadanya ia menyelesaikan tugas Jamal memasang kain hitam di diinding depan podium.
Juno yang sedari tadi memang sudah mulai berdiri bulu kuduknya, berjalan keluar sambil menggandeng tangan Diko. Diko yang merasa risih, menghardik tangan Juno. Semakin di lepas Diko, semakin gigih pula usaha Juno untuk menggandeng tangan Diko. Ketakutan Juno bukan tanpa alasan, lolongan anjing seperti di film-film horor terdengar jelas sedari tadi sampai kini belum berhenti. Konon katanya, ketika Anjing melolong panjang, itu pertanda mereka sedang melihat makhluk asing lain.
Baru saja Juno dan Diko keluar Pintu, mereka dikejutkan suara pintu ruang labor Bilogi yang terbuka dan menutup sendiri berulang-ulang kali.
“Diko, itu kenapa pintu di labor Biologi?”
“Kena angin Dodol.” Sambar Diko yang pura-pura pemberani, padahal dari lubuk hati yang terdalam, ia takut tak berperi. Sedari tadi bulu kuduknya sudah berdiri, namun ia paksakan untuk sok berani. Mereka terus melanjutkan menyusuri koridor menuju WC yang mereka curigai.
“Juno, kamu dengar suara gending-gending jawa?” ucap Diko memecah keheningan di koridor.
“Aku baru saja mau tanya, ia aku dengar juga.”
Lagu yang mereka dengar pun sama yang di dengar Jamal sebelumnya, “Lingsir Wengi.”
Sebenarnya mereka ingin sekali kembali ke audio, suasana di luar begitu mencekam. Bulu kuduk mereka terus berdiri. Degub jantung mereka berdetak keras. Langkah merekapun semakin berat. Juno dan Diko bersepakat berbagi tugas, Juno mengecek WC putra, Diko mengecek WC Putri. Mereka berpencar.
Juno yang sedari awal punya prinsip pantang pulang sebelum kerjaan kelar, terus memaksa diri untuk berani. Ia berpisah dengan Diko. Senter HP ia arahkan ke dalam ruang WC. WC putra dan putri mirip. Sebelum ada dua WC utama, masing-masing terdapat ruang terbuka kecil yang biasa dipakai untuk anak-anak menukar baju olahraga. Kali-kali Aja ada makhluk astral di sana. “Clear.”
Brrrr brrrrrpppppp brrpppppp… Juno dikejutkan dengan rombongan kelelawar kecil yang kaget dengan kedatangan Juno. Hampir saja Jantung Juno copot, kaget bukan kepalang.
Pintu WC pertama terbuka, tidak ada Jamal di sana. Tinggal satu WC tertutup, pasti Jamal di dalam nih, batin Juno.
“Tok..tok…tok…Mal… Udahan di WCnya, awak punyo gawe belum selesai.” Karena tidak juga disahut dari dalam, Jamal mencoba membuka pintu.
Pintu tidak di kunci, pelan-pelan Jamal membuka pintu. Samar-samar, di depanya ada siswa berseragam lengkap membelakanginya, tengah buang air kecil sambil berdiri.
“Mal, kenapa kamu ganti pakai seragam OSIS?” Sosok di depannya acuh saja. Sambil menyelesaikan hajatnya. Sesekali ia menyanyi lirih lagu geding Lingsir Wengi.
Juno mulai curiga, sosok di depannnya bukannlah Jamal. Jamal yang ia kenal adalah anak metal, bukan penggemar campur sari atu gending jawa. Ketakutan Juno mulai menjadi, ketika ia mencium aroma wangi. Wangi daun pandan dan melati.
Sosok didepannya tiba-tiba berbalik arah.
“Apaaaaaaa” Sosok itu bukanlah Jamal.
Ketakutan Juno memuncak. Sekelebatan wajah siswa berseragam lengkap itu sekilas terlihat dari sinar HPnya. Wajahnya pucat, pelipis kiri mengeluarkan darah. Sosok itu tersenyum dan melambai ke arah Juno.
Kaki Juno tiba-tiba berat. Keringat dingin keluar dengan dahsyat. Ia ingin berteriak, namun mulut terkunci rapat.
Sosok berseragam lengkap itu berjalan maju ke arah Juno sambil ingin menjabat tangah Juno.
Juno masih terpaku, ia ingin berlari namun kaki serasa terkunci. HP nya tiba-tiba terjatuh. Ruang itu berubah menjadi gelap. Lolongan anjing dan suara gending sayup-sayup masih terdengar. Hembusan angin dan bau harum pandan-melati membuat ketakutan Juno semakin menjadi.
Tiba-tiba pandangan matanya mulai gelap, gelap, gelap, dan gelap.
JUNO PINGSAN.
***
Selasa Kliwon, 26 November 2019
“Ke WC pasti cuman alibi ni Anak, pasti si Jamal Pulang” gumamnya dalam hati. Kegundahannya itu ia tanyakan pada Juno yang masih saja asyik mempercantik bagian podium dengan bunga-bunga buatan.
“Juno… di mano Jamal yo, apo balek dio dak?
“Entah lah jok eh, kalu dak ado pasti lah balek. Anak mama diok tuh.” Sahut Juno acuh, saking khusuknya dia pada kerjaannya membuat taman buatan.
Maklum, jika menjelang pukul 7 pagi belum selesai, pasti Nuri, si ketua OSIS bakalan murka. Sebenarnya ia tidak takut pada si Nuri, namun ia lebih ingin bertanggungjawab atas tugas yang telah ia sanggupi. Hari gini susah mencari sosok seperti mereka. Apalagi politikus di Senayan sana. Hanya sedikit yang bekerja untuk Rakyat, yang ada hanya kepentingan semata.
“Biak sayo cek motornyo jok, kalu motornyo dak ado, berarti dio balek tu lah.” Diko yang baru saja selesai menutup dinding belakang dengan kain hitam ikut menyela. Maklum, mereka berlima harus kompak, datang bersama pulang pun harus bersama pula.
“Ikut bos…” Riko yang tengah memasang Thumbler pada pohon buatan pun ikut andil. Maklum, mereka sudah berkomitmen untuk menyelesaikan tugas masing-masing. Dari kelimanya, hanya Jamal sendiri yang masih belum ada progress.
Setelah lima menit, Riko dan Diko kembali ke ruangan.
“Motor Jamal masih ado.” Riko dan Diko kompak memberi laporan pada kedua temannya di audio yang kelihatan tengah menyeruput kopi hangat di termos kecil yang disiapkan oleh petugas OSIS putri.
“Wah kemano budak tuh, udah satu jam lebih, belum balik. Mana kerjaannyo belum kelar lagi.” Juno Nampak ketus dan bersungut-sungut.
“Ya udah kita tunggu aja barang 30 menit, kalau belum kembali jugo kita cari di WC, mana tau dio pingsan pulak.” Rudi mampu menengahi sedikit kegalauan malam itu.
Mereka kembali mengerjakan tugas mereka yang hampir selesai. Sesekali mereka membantu pekerjaan Jamal untuk memasang kain hitam di podium depan.
Ruang audio yang mereka akan gunakan sebagai tempat perlombaan bulan Bahasa lumayan besar. Sekitar 15 x 10 meter. Ruang audio ini multi fungsi, bisa dijadikan tempat latihan teater atau menari, karena di tembok bagian belakang terpasang kaca ukuran besar dan tertempel di tembok dengan rapi. Di depan, terdapat podium yang lumayan besar, mampu untuk menampung group Band yang inging manggung, tarian, atau pertunjukan lainnya. Namun sayang, meski ruang tersebut dilengkapi dengan dua buah unit AC, ruangan tersebut tetap panas. Sebagai penggantinya setiap kali ada ajang perlombaan, panitia harus sibuk mencari pinjaman kipas angin.
Di samping kanan ruang audio adalah laboratorium Kimia dan Biologi. Kedua labor tersebut sudah terbilang tua, namun belum ada rencana untuk program peremajaan. Secara sekilas, dua laboratorium tersebut sekilas terkesan angker. Di samping kiri auditorium terdapat ruang Komite. Ruangnya berukuran kecil, namun mampu disulap mirip executive lounge. Lengkap dengan fasilitas AC bahkan Lemari Es. Di samping ruang Komite adalah ruang VIP. Ruang VIP sekolah ini mungkin hanya ada satu di Batanghari. Sesuai namnya, ruang ini hanya dibuka ketika ada acara-acara penting saja. Maklum, kain gordennya saja seharga 15 Jutaan.
Tepat di depan ruang audio adalah parkir mobil yang hanya mampu menampung dua unit saja. Di depan parkiran terdapat WC laki-laki dan WC perempuan. Keempat pengurus OSIS yakin bahwa Jamal berada di WC itu.
Tak terasa sudah 30 menit sudah mereka bekerja. Sesuai kesepakatan, jika Jamal tidak kembali, mereka harus mencari.
“Guys, gimana nih siapo nih yang nak cari Jamal.” Tanya Juno, siswa kelas XI Mia I berkacamata tebal, bercelana cingkrang, dan kerah baju yang selalu dikancing sampai ke atas. Khas gaya anak culun.
“Ya udah kita bagi tugas aja. Dua orang cari Juno, dua orang tinggal di sini selesaikan tugas yang belum kelar. Biar adil, kita hompimpah ya.” Lagi-lagi Rudi menawarkan solusi praktis.
Dari hasil hompimpah Juno dan Diko harus patroli ke luar mencari Jamal. Sementara Rudi dan Riko tetap di ruang audio. Baru saja Juno dan Diko berpatroli, tiba-tiba lampu mati. Musik HP yang mereka sambung ke Speaker pun ikut mati. Tiba-tiba ruang audio berubah menjadi tegang, suram, dan sunyi.
Sayup-sayup mereka mendengar lolongan Anjing bersahutan. Nyanyian jangrik dan kodok yang biasa berirama, tiba-tiba tiada. Hanya sesekali hembusan angin yang mulai kencang, memberi tanda bahwa hari hendak hujan. Sesekali ruang gelap mereka berubah terang saat sambaran kilat datang.
Sinar senter HP keempat pengurus OSIS cukup untuk memberi sedikit terang. Mereka tak mengantisipasi lampu PLN yang akan mati. Padahal, sudah menjadi tradisi di Batanghari, jika hujan datang maka listrik pun padam.
“Ayo bos, nunggu apolagi?” Sahut Diko si rambut kribo, yang selalu merasa mati gaya karena setiap kali ia panjangkan rambut selalu kena Razia. Juno si culun, yang mulai-meluai terbawa suasana mulai bimbang untuk keluar ruangan. Namun, rasa kesetiakawanan telah mampu memudarkan rasa takut di benak Juno.
Juno dan Diko bergegas keluar ruang audio untuk mencari adik kelasnya Jamal. Sementara Rudi dan Riko, dengan penerangan seadanya ia menyelesaikan tugas Jamal memasang kain hitam di diinding depan podium.
Juno yang sedari tadi memang sudah mulai berdiri bulu kuduknya, berjalan keluar sambil menggandeng tangan Diko. Diko yang merasa risih, menghardik tangan Juno. Semakin di lepas Diko, semakin gigih pula usaha Juno untuk menggandeng tangan Diko. Ketakutan Juno bukan tanpa alasan, lolongan anjing seperti di film-film horor terdengar jelas sedari tadi sampai kini belum berhenti. Konon katanya, ketika Anjing melolong panjang, itu pertanda mereka sedang melihat makhluk asing lain.
Baru saja Juno dan Diko keluar Pintu, mereka dikejutkan suara pintu ruang labor Bilogi yang terbuka dan menutup sendiri berulang-ulang kali.
“Diko, itu kenapa pintu di labor Biologi?”
“Kena angin Dodol.” Sambar Diko yang pura-pura pemberani, padahal dari lubuk hati yang terdalam, ia takut tak berperi. Sedari tadi bulu kuduknya sudah berdiri, namun ia paksakan untuk sok berani. Mereka terus melanjutkan menyusuri koridor menuju WC yang mereka curigai.
“Juno, kamu dengar suara gending-gending jawa?” ucap Diko memecah keheningan di koridor.
“Aku baru saja mau tanya, ia aku dengar juga.”
Lagu yang mereka dengar pun sama yang di dengar Jamal sebelumnya, “Lingsir Wengi.”
Sebenarnya mereka ingin sekali kembali ke audio, suasana di luar begitu mencekam. Bulu kuduk mereka terus berdiri. Degub jantung mereka berdetak keras. Langkah merekapun semakin berat. Juno dan Diko bersepakat berbagi tugas, Juno mengecek WC putra, Diko mengecek WC Putri. Mereka berpencar.
Juno yang sedari awal punya prinsip pantang pulang sebelum kerjaan kelar, terus memaksa diri untuk berani. Ia berpisah dengan Diko. Senter HP ia arahkan ke dalam ruang WC. WC putra dan putri mirip. Sebelum ada dua WC utama, masing-masing terdapat ruang terbuka kecil yang biasa dipakai untuk anak-anak menukar baju olahraga. Kali-kali Aja ada makhluk astral di sana. “Clear.”
Brrrr brrrrrpppppp brrpppppp… Juno dikejutkan dengan rombongan kelelawar kecil yang kaget dengan kedatangan Juno. Hampir saja Jantung Juno copot, kaget bukan kepalang.
Pintu WC pertama terbuka, tidak ada Jamal di sana. Tinggal satu WC tertutup, pasti Jamal di dalam nih, batin Juno.
“Tok..tok…tok…Mal… Udahan di WCnya, awak punyo gawe belum selesai.” Karena tidak juga disahut dari dalam, Jamal mencoba membuka pintu.
Pintu tidak di kunci, pelan-pelan Jamal membuka pintu. Samar-samar, di depanya ada siswa berseragam lengkap membelakanginya, tengah buang air kecil sambil berdiri.
“Mal, kenapa kamu ganti pakai seragam OSIS?” Sosok di depannya acuh saja. Sambil menyelesaikan hajatnya. Sesekali ia menyanyi lirih lagu geding Lingsir Wengi.
Juno mulai curiga, sosok di depannnya bukannlah Jamal. Jamal yang ia kenal adalah anak metal, bukan penggemar campur sari atu gending jawa. Ketakutan Juno mulai menjadi, ketika ia mencium aroma wangi. Wangi daun pandan dan melati.
Sosok didepannya tiba-tiba berbalik arah.
“Apaaaaaaa” Sosok itu bukanlah Jamal.
Ketakutan Juno memuncak. Sekelebatan wajah siswa berseragam lengkap itu sekilas terlihat dari sinar HPnya. Wajahnya pucat, pelipis kiri mengeluarkan darah. Sosok itu tersenyum dan melambai ke arah Juno.
Kaki Juno tiba-tiba berat. Keringat dingin keluar dengan dahsyat. Ia ingin berteriak, namun mulut terkunci rapat.
Sosok berseragam lengkap itu berjalan maju ke arah Juno sambil ingin menjabat tangah Juno.
Juno masih terpaku, ia ingin berlari namun kaki serasa terkunci. HP nya tiba-tiba terjatuh. Ruang itu berubah menjadi gelap. Lolongan anjing dan suara gending sayup-sayup masih terdengar. Hembusan angin dan bau harum pandan-melati membuat ketakutan Juno semakin menjadi.
Tiba-tiba pandangan matanya mulai gelap, gelap, gelap, dan gelap.
JUNO PINGSAN.
***
Selasa Kliwon, 26 November 2019
Comments