Skip to main content

𝐒𝐮𝐦𝐮𝐫 𝐓𝐮𝐚 𝐒𝐌𝐀𝐍𝐃𝐀𝐋𝐀𝐒 (𝐏𝐚𝐫𝐭 𝟑)



Diko melirik sejenak ke WC pria, “Juno udah gak ada, berati udah kembali ke ruang Audio.” Gumamnya.
Selama pengecekan WC wanita, tidak ada hal istimewa. Jamal tak ada di sana. Diko hanya menutup kran air yang mungkin lupa dimatikan sejak pulang sekolah. Diko bahkan sempat buang hajat di sana.
Setelah selesai dan memastikan semua kembali bersih dan keran air sudah mati, Diko kembali ke audio.



Sesampainya di ruang Audio, Rudi dan Riko tengah pulas menikmati mimpi, setelah sejak sore bekerja untuk peringatan bulan Bahasa esok hari. Namun, Juno tak ada di sana. Diko heran, “ada yang tidak beres ini”.

Rudi dan Riko bergeming saat dibangunkan untuk sekedar membantu mencari keberadaan Juno yang juga menghilang. Meski lelah mendera, Diko tak tega rasanya jika tak keluar memastikan bahwa Juno masih di luaran sana. Ia yakin seyakin-yakinnya, Juno tak pulang seperti hipotesanya pada Jamal. Karena Juno tak akan berani pulang sendirian, apalagi situasi gelap menjelang subuh. Diko yang ia kenal adalah siswa yang penakut bukan kepalang.

PLN belum juga memberi tanda-tanda akan menghadirkan aliran listrik. Sudah hampir satu jam, gelap masih menderap. Diko memutuskan untuk kembali ke WC pria tempat ia terkahir berpisah dengan Juno. Lampu senter HP dan temaram rembulan menjadi teman setianya. Diko terngiang ucapan neneknya, hanya ada satu yang perlu ditakuti di atas bumi ini, yaitu Gusti Allah Kang Suwiji.
Langgam gendihing jawa yang sayup-sayup terdengar diacuhkannya. Lolongan Anjing kali ini tak berhasil membuatnya merinding. Hanya satu motivasinya, Juno harus ditemukan.

“Juno, kenapa kamu sudah berganti baju Osis.” Diko lega ketika melihat ada sosok lelaki yang membelakanginya tengah berdiri di tengah pintu masuk WC pria. Namun Diko heran, kenapa Juno sempat-sempatnya bertukar baju putih abu-abu.

Siswa itu tetap diam di sapa Diko. Sisa-sisa sinar rembulan dan cahaya HP memberi sedikit keyakinan bahwa siswa itu benar-benar Juno. Diko bertambah heran, karena sosok di depannya itu memakai parfum melati yang sungguh wangi. Lolongan anjing kini semakin terdengar keras. Suara burung hantu sayup-sayup mulia terdengar.



Diko menepuk Pundak Juno. “Ayo Jun, kita ke audio aku sudah ngantuk berat nih.”
“Iyaaaaa bentaaaaar.” Tangan kanan Juno memegang tangan Diko yang masih tertempel di pundaknya. Tangan itu dingin, seperti baru keluar dari lemari es. Diko jadi sedikit ragu sekarang, jangan-jangan remaja itu bukan Juno. Kaki Diko mulai gemetaran. Pesan neneknya kini mulai buyar. Genggaman tangan itu semakin kuat mencengkeram tangan Diko di atas pundaknya. Diko mulai berontak, ia tarik perlahan agar tanganya terlepas.

“Siapa kamu?” Semakin Diko menarik, semakin erat cengkraman sosok remaja misterius itu. Kini bukan lagi bau melati, melainkan bau anyir darah dan nanah yang berlendir. Diko semakin yakin ia bukan Juno. Pria di depannya secara perlahan membalikkan badannya.
Dan…… benar sosok itu bukan Juno, bukan pula Jamal. Siswa asing berbaju putih abu-abu jaman dulu. Darah mengalir dari dahi kanannya. Mukanya putih dan pucat. Ia menyeringai dan berteriak:
“aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa”

Diko mati langkah. Kakinya benar-benar tak mampu digerakkan. Tangan kirinya yang memegang HP gemeteran, hingga HPnya terlepas. Tangan kanannya masih dipegang erat oleh sosok misterius itu.
Diko panik, rambutnya seolah berdiri. Ia ingin berlari sekencang-kencangnya namun tidak bisa. Mulutnya terkatup, lidahnya terkunci. Seketika, ia seperti mendengar bisikan, bacalah Ayat Kursi!!! Bacalah ayat Kursi!!! Bacalah Ayat Kursi!!!

Mulutnya belum bisa bergerak. Lidahnya kaku. Sosok di depannya semakin menggila. Berteriak dan seolah bersiap menghisap darah di lehernya. Kini kedua tangannya digenggam oleh makhluk itu, taringnya mulai terlihat samar oleh pantulan rembulan. Diko tak ingin menyerah. Ia tak boleh kalah. Mulut makhluk misterius itu sudah dekat sekali dengan leher Diko.

Meski panik, perlahan ia mulai membaca taawuz dalam hatinya. Kini darahnya mulai terpacu. Perlahan lidanya mulai bisa digerakkan, “bismillahirrahmanirrahim…….” Lirih, basmallah keluar dari mulutnya. Takut dan gembira, bercampur aduk.
Sosok di depannya mengerang kesakitan…. Matanya berubah merah tanda amarah. Taring memanjang sebagai tanda perlawanan.

“allāhu lā ilāha illā huw, al-ḥayyul-qayyụm...” perlahan tapi pasti dingin kedua tangan sosok menyeramkan itu mulai terlepas. “lā ta`khużuhụ sinatuw wa lā na`ụm….”
Tiba-tiba, secepat kilat makhluk itu menghilang diiringi suara erangan seperti orang yang ditusuk pedang. Diko tetap mantab menyelesaikan Ayat Kursi meski makhluk itu sudah benar-benar lenyap dari hadapannya.



Tiba-tiba, malam berubah menjadi tenang. Lolongan anjing menghilang, suara burung hantu pun kini tak lagi menderu. Langgam jawa yang sedari tadi terngiang-ngiang pun kini tiada.
“byar……”
Lampu PLN kembali menyala. Diko bernafas lega. Lega karena ia mampu melawan makhluk misterius yang seolah ingin menerkammnya. Lega, karena listrik tak lagi padam.
Namun lega berubah menjadi panik, Juno tak ditemukan di WC pria. Nihil, hanya sisa-sisa bau pesing yang ada di sana.

Seperti halnya Jamal, Juno hilang entah ke mana.
Jam di layar Ponsel Diko menunjukkan pukul 4:00. Tidak ada pilihan lain, Riko dan Rudi harus turut serta meronda mencari keberadaan Juno, atau Jamal kali-kali saja Jamal tidak pulang.
Kali ini, Rudi dan Riko menurut, meski kantuk bergelayut, mereka bertiga berjalan menyusuri koridor kelas. Diko memilih tak menceritakan makhluk misterius yang tadi menyerang. Biarlah itu menjadi cerita pribadinya.

Dua Lorong telah terlewati. Diko heran, tak ada lagi suara-suara aneh terdengar. Malah kini sayup-sayup ia suara murottal Qur’an dari Masjid yang mulai besahutan. Pertanda Azan subuh akan dikumandangkan. Mereka berjalan membisu, hanya sesekali suara batuk atau sekedar suara tarikan nafas hidung yang mampet.

Dari depan kelas XII Mia 6, ketiga siswa itu kompak melihat ada sosok yang berbaring di pinggir sumur tua. Mereka bergegas, namun belum begitu sempurna menerka apakah Juno, ataukah Jamal yang ada di sana.

Dikolah yang paling mempunyai tanda tanya besar, kalaulah itu Juno, mengapa remaja itu sampai tertidur di sumur tua. Bukankah terakhir kali Juno mengecek WC pria? Namun jika sosok itu Jamal, lalu Juno di mana?

Selasa Wage, 2019
Bersambung…
#sumurtuasmandalas
#ceritahoror

Comments

Popular posts from this blog

Sampling

This slides provide you:  1. the definition of sampling  2. sampling frame 3. determining the size of your sample  4. sampling procedure (Probability and non-probability)  Please follow/download the link for the Power Point Slides

The Legend of Jambi Kingdom (Narrative Text)

   Image: https://www.gambarrumah.pro/2012/10/400-gambar-kartun-rumah-adat-jambi.html Once upon a time, there were five villages, Tujuh Koto, Sembilan Koto, Petajin, Muaro Sebo, and Batin Duo Belas. The villagers of those five villages lived peacefully. They helped each other. Soon, the number of villagers grew highly. The villagers thought that they needed a leader to guide them. They wanted to have a king. So, the leaders from the five villages had a meeting. They wanted to set the criteria who could be their king. "Our king should be physically strong," said the leader from Tujuh Koto. "I agree. The king should be able to protect us from the enemies, "said one leader. "Not only that. He should also be well respected by us. So, the king should be strong and have good manners," said the leader from Petajin. "Then, let’s set the criteria. I have a suggestion. The king should be strong from fire. He cannot feel the pain if we burn him," said leade

The Legend of Jambi (Narrative Text)

                                                    Gambar: http://www.ceritadongenganak.com   Once upon a time, there lived in Sumatra Island a very beautiful girl, Putri Pinang Masak. The girl was also a very kind-hearted person. This made everyone liked her so much. Many youth and princes from other countries desire her to be his wife. Nevertheless, she refused their proposals because she had not wanted to get married yet. One day, there was a very wealthy king, the king of the east kingdom, coming to her village. He proposed to marry her. Putri Pinang Masak was afraid to refuse the king’s proposal although she actually did not love the king, the ugly-faced man, at all. She knew that the king would be very angry and there would be a battle if she refuse his desire. Putri Pinang Masak was so confused before she got an idea to refuse the king’s proposal. Then she said to the king that she accepted his proposal on one condition. The king should be able to build a very large and beautif