Skip to main content

Tetap di Rumah atau Kembali Sekolah? Yuk Tanya PANCASILA


Oleh: Dion Ginanto 

Pemerintah masih mempertimbangkan untuk membuka sekolah pada tahun ajaran baru untuk daerah-daerah berkategori hijau

Itu adalah potongan berita yang akhir-akhir ini berseliweran di media cetak, elektronik, dan sosial. Ada yang setuju dan pasti ada pula yang tidak. Karena penasaran, pada tanggal 30 May 2020 (kemarin) saya membuat survey kecil-kecilan tentang pembukaan kembali sekolah di tengah pandemi. Alhamdulillah selama 20 jam, terdapat 80 responden yang dengan baik hati membantu saya untuk menggali informasi.


 Pie chart untuk pertanyaan pertama
 
Ada dua pertanyaan yang saya ajukan: (1) Apakah Anda setuju jika sekolah dibuka di bulan Juni/Juli?; (2) Kapan sebaiknya sekolah kembali dibuka? Dari 80 yang mengisi angket, terdapat 51 responden (63.75%) tidak setuju untuk sekolah dibuka kembali di bulan Juni/Juli. Sementara ada 26 (32.5%) menjawab setuju untuk sekolah dibuka kembali dalam waktu dekat. Sisanya 4 responden (5%) menjawan tidak tahu. 

Pie chart untuk pertanyaan ke-dua
 
Untuk pertanyaan ke-dua, ada 25 (31.65%) orang menjawab sekolah seharusnya dibuka kembali pada bulan  Juni/Juli 2020, 44 orang (55.7%) menjawab sebaiknya sekolah dibuka pada bulan Desember 2020, 10 Orang (12.66%) menjawab sebaiknya sekolah dibuka pada bulan Juli 2021, ada satu responden yang tidak menjawab.

Baca juga: Survey Masuk Sekolah

Lalu, bagaimana dengan Anda? tetap di rumah atau kembali ke sekolah?

Nah, kebetulan hari ini (1 Juni 2020) adalah hari lahirnya PANCASILA. Yuk, kita tanyakan PANCASILA, kira-kira apa ya yang harus kita dahulukan? Hak untuk Hidup atau Hak untuk Pendidikan? Kesehatan atau Pengajaran?

Berikut adalah tafsiran pribadi saya terhadap sila-sila Pancasila ketika kita hubungkan dengan pembukaan kembali sekolah di Indonesia. 

Sila pertama adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Dalam ajaran Islam, Nabi Muhammad SAW telah mengingatkan untuk tidak memasuki daerah yang sedang terjangkit penyakit dan tidak keluar dari daerah yang sedang tertimpa wabah. Ajaran agama lain pun saya percaya untuk lebih baik menahan diri di rumah sementara waktu sampai suatu penyakit telah dinyatakan hilang atau dapat dikendalikan. Tentu sebagai negara Berketuhanan, kita wajib mengikuti anjuran agama untuk dapat menahan diri di rumah. Karena Covid-19 tidak terlihat, siapa yang akan menjamin bahwa siswa yang masuk ke sekolah 100% tidak terpapar virus? 

Sila ke-dua adalah “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”. Agar dapat menjunjung tinggi kemanusiaan, ada baiknya, seluruh sekolah di Indonesia untuk dapat menunda masuk sekolah sementara waktu. Karena kita tidak dapat memberikan jaminan bahwa zona hijau akan tetap hijau ketika sekolah telah dibuka. Karena anak-anak sekolah sangat rentan terpapar virus Corona. KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) baru-baru ini merilis data bahwa ada 800 anak terpapar Corona. Besar kemungkinan, jika sekolah kembali dibuka, aka nada cluster baru bernama cluster sekolah. Tadi pagi saya juga menonton berita di salah satu stasiun televisi bahwa Korea Selatan menutup kembali sekolah, setelah beberapa hari dibuka. Ternyata, setelah sekolah dibuka ditemukan kasus baru Corona. Oleh karenanya, agar memenuhi rasa kemanusiaan, untuk melindungi orang yang kita sayangi; zona hijau, kuning, dan merah sebaiknyat tetap menahan diri untuk membuka pintu sekolah.

Baca Juga: Perjalanan Kurikulum di Indonesia

Sila ke-tiga adalah “Persatuan Indonesia”. Untuk mendukung pemerintah, rakyat harus bersatu padu, bahu membahu untuk memastikan bahwa bencana ini dapat dikendalikan. Dengan tidak terlebih dahulu masuk sekolah, menurut saya itu salah satu usaha untuk mendukung pemerintah. Tidak semua masyarakat Indonesia dapat mendukung pemerintah dengan dana, oleh karenanya berdiam diri di rumah saja merupakan bentuk usaha nyata membantu pemerintah menahan laju Corona. 

Sila ke-empat intinya adalah musyawarah mufakat. Dari survey yang saya adakan dalam satu hari, jumlah responden adalah 80 orang. Saya tidak mengklaim dapat mewakili aspirasi seluruh masyarakat Indonesia, namun mudah-mudahan dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk terlebih dahulu menahan diri di rumah. Saya dan kita semua sadar, pasti siswa bosan untuk selalu beraktivitas di rumah. Guru pun pasti rindu untuk dapat bertemu dengan siswa dan teman sejawat. Namun, media elektronik, cetak, dan sosial yang saya amati lebih cenderung untuk kembali menutup gerbang sekolah sampai pemerintah mampu mengendalikan wabah ini. Ketimbang memaksakan diri belajar di sekolah, namun pasti pembelajarannya tidak terlalu efektif; lebih baik mengikuti dorongan mayoritas rakyat agar bermufakat untuk belajar kembali di rumah dengan kerabat terdekat. 
Sila ke-lima adalah “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Tentu jika sekolah harus diperpanjang, pemerintah pusat dan daerah harus dapat berperan dalam meyakinkan bahwa siswa dan guru mendapatkan rasa keadilan sosial. Pada surat guru dan siswa yang dibacakan oleh Mas Menteri beberapa hari yang lalu, terkuak bahwa ada siswa dan orangtua yang harus meminjam smartphone dan harus berhutang untuk membeli pulsa. Guru-guru pun demikian, ada banyak sekali yang terancam tidak mendapat gaji, dikarenakan siswa tidak membayar uang Komite/SPP sekolah dikarenakan mereka tidak belajar di sekolah. Pemerintah hendaknya tanggap jika nanti belajar dari rumah diperpanjang. Pemerintah baik pusat maupun daerah harus dapat memberikan insentif khusus untuk guru honorer. Selain itu, untuk mengurangi pemakian data pada pengajaran online, maka program-program di TVRI dan RRI harus ditingkatkan baik secara kualitas dan kuantitasnya. Pemerintah dengan powernya mungkin dapat juga menggandeng TV dan radio swasta, agar dapat pula menyajikan tayangan-tayangan pendidikan sebagai rujukan pembelajaran siswa.  

Akhirnya, ketika harus memilih antara sekolah atau tinggal di rumah di saat pandemi, tentu tinggal di rumah adalah pilihan terbaik. Ketika ditanya hak untuk hidup, atau hak untuk memperoleh pendidikan, maka hak untuk hidup harus didahulukan. Ketika ditanya kesehatan atau pengajaran, PANCASILA menjawab secara gamblang untuk mengutamakan kesehatan. Karena pendidikan dan pengajaran masih tetap bisa dilaksanakan meski tidak harus pergi ke sekolah. Selamat hari Lahir PANCASILA, semoga kita tetap konsisten belajar di rumah saja sampai pemerintah mampu mengedalikan Corona.

Comments

Popular posts from this blog

Sampling

This slides provide you:  1. the definition of sampling  2. sampling frame 3. determining the size of your sample  4. sampling procedure (Probability and non-probability)  Please follow/download the link for the Power Point Slides

The Legend of Jambi Kingdom (Narrative Text)

   Image: https://www.gambarrumah.pro/2012/10/400-gambar-kartun-rumah-adat-jambi.html Once upon a time, there were five villages, Tujuh Koto, Sembilan Koto, Petajin, Muaro Sebo, and Batin Duo Belas. The villagers of those five villages lived peacefully. They helped each other. Soon, the number of villagers grew highly. The villagers thought that they needed a leader to guide them. They wanted to have a king. So, the leaders from the five villages had a meeting. They wanted to set the criteria who could be their king. "Our king should be physically strong," said the leader from Tujuh Koto. "I agree. The king should be able to protect us from the enemies, "said one leader. "Not only that. He should also be well respected by us. So, the king should be strong and have good manners," said the leader from Petajin. "Then, let’s set the criteria. I have a suggestion. The king should be strong from fire. He cannot feel the pain if we burn him," said leade

The Legend of Jambi (Narrative Text)

                                                    Gambar: http://www.ceritadongenganak.com   Once upon a time, there lived in Sumatra Island a very beautiful girl, Putri Pinang Masak. The girl was also a very kind-hearted person. This made everyone liked her so much. Many youth and princes from other countries desire her to be his wife. Nevertheless, she refused their proposals because she had not wanted to get married yet. One day, there was a very wealthy king, the king of the east kingdom, coming to her village. He proposed to marry her. Putri Pinang Masak was afraid to refuse the king’s proposal although she actually did not love the king, the ugly-faced man, at all. She knew that the king would be very angry and there would be a battle if she refuse his desire. Putri Pinang Masak was so confused before she got an idea to refuse the king’s proposal. Then she said to the king that she accepted his proposal on one condition. The king should be able to build a very large and beautif