Pada suatu
pagi yang cerah, Prof. Abdul Mu’ti (Menteri Pendidikan Dasar dan
Menengah-Mendikdasmen) yang tengah menyeruput kopi di pendopo imajinasi
tiba-tiba didatangi sosok yang sudah tidak asing lagi. Ki Hajar Dewantara,
benar, ia muncul dengan senyuman khas, berpeci hitam dengan jas putih tanpa
dasi.
Meskipun
baru pertama kali berjumpa, mereka sungguh terlihat sangat akrab. Duduk
bersila, di atas tikar sederhana, dengan sepiring ubi rebus dan segelas kopi
hitam. Prof. Mu’ti menawarkan kopi pada Ki Hajar, dan langsung disetujui, kopi
hitam tanda gula. Mereka lalu bercengkrama, bernostalgia tentang kejayaan
pendidikan tanah air, termasuk berdiskusi tentang kebijakan pendidikan
akhir-akhir ini.
Ujian
Nasional yang Kembali Hidup
Ki Hajar: Tuan, Menteri, kudengar engkau hendak menghidupkan kembali ujian nasional. Apakah benar anak-anak kita kembali diadili dengan tiga hari ujian?
Prof. Mu’ti (berusaha tenang): Betul Ki. Banyak pihak mendesak adanya tolak ukur nasional. Kami ingin ada standarisasi untuk mengetahui sejauh mana capaian siswa secara objektif dan terukur.
Ki Hajar: Terukur? Apakah nilai dalam lembar jawaban mampu mengukur karakter, rasa ingin tahu, dan keunikan tiap anak? Apakah satu bentuk ujian pantas mewakili keberagaman kemampuan anak bangsa?
Prof. Mu’ti: Namun, kami tidak mewajibkan peserta didik untuk mengikuti Tes Kemampuan Akademik ini Ki.
Ki Hajar: Bukankah itu akan menimbulkan jurang pemisah antara yang akan melanjutkan sekolah atau kuliah harus mengikuti tes kemampuan akademik. Sementara yang tidak melanjutkan, dibebaskan?
Sekolah Rakyat dan Sekolah Unggulan
Ki Hajar: Tuan Menteri, apa betul pemerintah akan mendirikan sekolah unggulan untuk anak-anak kita yang pintar, dan sekolah rakyat untuk anak-anak kita yang miskin?
Prof. Mu’ti: Betul Ki. Namun yang lebih menjadi leading sektor pada kedua sekolah tersebut bukan pada kementrian kami. Sekolah Rakyat di bawah Kementrian Sosial. Sementara Sekolah Unggulan akan dikomandoi oleh Kemendikti Saintek.
Ki Hajar: Sekolah negeri adalah jantung pendidikan kita. Fokus pada sekolah yang sudah ada, perbaiki kualitas fisik dan non-fisiknya. Tidak perlu membuat sekolah baru. Sekolah negeri sudah tersebar di seluruh pelosok negeri. Jika kualitas sekolah negeri sudah bagus, maka murid secara sendirinya akan ikut bagus. Lalu bagi mereka yang kurang mampu, perbanyak bantuan pendidikan seperti KIP yang sudah ada. Membentuk sekolah baru, malah akan menciptakan pemborasan dan kesenjangan baru.
Menteri Pendidikan (dengan lirih): Tapi masyarakat pun terobsesi pada ranking dan prestise sekolah. Mereka ingin anaknya "masuk yang terbaik", bukan "berbuat yang terbaik".
Ki Hajar (menatap penuh makna): Kita harus mengubah narasi itu. Aku mendirikan Taman Siswa, agar penduduk pribumi tak lagi dibeda-bedakan, yang kaya bisa sekolah yang miskin tidak bisa. Dengan Taman Siswa, semua bisa sekolah. Ukur keberhasilan bukan dari siapa yang masuk sekolah favorit, tapi dari siapa yang tak lagi merasa terbuang. Pendidikan yang adil adalah hak, bukan hadiah.
Mendikdasmen: Terima kasih, Bapak Ki Hajar. Kami akan mengingat bahwa “pemerdekaan” tak berarti apa-apa jika masih ada anak yang terkurung dalam stigma “bukan siapa-siapa.”
Ki Hajar (tersenyum): Selama ada niat untuk memanusiakan pendidikan, saya yakin negeri ini masih bisa bertumbuh. Ingatlah: setiap anak adalah cahaya, jangan redupkan hanya karena ia lahir di tempat yang sederhana.
Penghapusan Kebijakan Guru Penggerak
Hembusan angin, turut mengiringi percapakan mereka yang kemudian berganti pada isu yang berbeda. Mereka terdengar berdisksi tentang penghapusan program Guru Penggerak
Ki Hajar Dewantara: Tuan Menteri, kudengar engkau telah menghentikan program Guru Penggerak? Apakah benar kabar itu?
Ki Hajar (lembut tapi tegas): Kalau masalahnya seleksi, benahi prosesnya. Kalau masalahnya keterjangkauan, perluas jangkauannya. Jangan hapus akar yang mulai tumbuh hanya karena batangnya belum tinggi.
Mendikdasmen: Mungkin saya terlalu tergesa menilai dari angka dan grafik. Padahal yang kita ubah adalah manusia—jiwa yang mendidik, bukan sekadar sistem.
Mendikdasmen (menunduk): Saya mulai mengerti, Pak Ki Hajar. Kami seharusnya tidak hanya mengevaluasi output, tapi mendengarkan getaran hati para guru. Barangkali program ini perlu diperbaiki, bukan dihapus.
Ki Hajar (tersenyum): Selama engkau mau mendengar suara dari kelas-kelas yang berdebu, dari guru-guru yang mendidik tanpa pamrih, pendidikan kita masih punya harapan.
Setelah menyesap tegukan terakhir kopi dan menghabiskan sepotong ubi rebus, Ki Hajar Dewantara menatap Prof. Mu’ti dengan mata penuh keyakinan.
"Tuan Menteri," ujarnya lirih, "saya pamit.
Tapi sebelum pergi, saya titipkan satu hal: merdekakanlah jiwa anak-anak
bangsa. Didik mereka dengan cinta, bukan dengan takut."
Prof. Mu’ti mengangguk dalam, matanya berkaca. "Amanah
itu akan saya jaga, Pak Ki Hajar."
"Pendidikan adalah jembatan antara zaman. Kau jaga
jembatan itu, maka generasi berikutnya akan sampai ke seberang dengan
selamat."
Prof. Mu’ti melambaikan tangan seraya berbisik lirih “Selamat
Ulang Tahun Ki Hajar Dewantara”
Comments