Skip to main content

Hardiknas: Bangkitkan Semangat Belajar dari Rumah


Dion Ginanto
131 tahun silam, tepatnya pada tanggal 2 Mei lahirlah sosok bayi yang hingga kini mewarnai arah pendidikan di tanah air. Sosok itu adalah Raden Mas Soewardi Soeryaningrat dari tanah Yogjakarta. Meski terlahir dari keluarga Ningrat, tidak lantas membuat mantan Menteri Pendidikan pertama di Indonesia itu jumawa. Malah sebaliknya, ia ingin menanggalkan gelar kebangsawanannya. Ia ingin mengikis gap antara kaum bangsawan dan jelata. Maka ia memutuskan untuk mengganti namanya menjadi Ki Hajar Dewantara. Dengan demikian ia dengan mudahnya bergaul dengan sesiapa, tanpa ada jurang pemisah kasta yang saat itu masih menjadi pembeda.
Perjuangan Ki Hajar Dewantara tentu tidak mudah. Semasa hidupnya ia sering berurusan degan Belanda, menjadi tawanan penjajah, hingga menjalani masa pengasingan. Namun semangatnya untuk memperjuangkan pendidikan di tanah air yang kala itu belum bernama Indonesia, tidak pernah pudar. Api semangat untuk membela tumpah darahnya tak pernah padam.
Tulisan-tulisan yang sangat tajam mengkritisi penjajah sebanding dengan perjuangan mengakat bambu runcing, keris, atau senjata lainnya. Taman Siswa yang ia dirikan bersama rekan sejawatnya sering memperoleh hambatan, rintangan, bahkan acaman dari pemerintah kolonial. Di bawah bayang-bayang hukuman, ia tetap berdiri di garda terdepan memperjaungakan pendidikan yang ia yakini sebagai faktor utama kemajuan Bangsa. Maka tak berlebihan jika kemudian Presiden Soekarno menjadikannya sebagai pahlawan pendidikan, dan mengabadikan tanggal lahirnya sebagai hari pendidikan nasional.
Lalu, sebagai anak cucu pergerakan dan ideologi Ki Hajar, kitapun harus mewarisi semangat memperjuangakan pendidikan. Pandemi Corona bukanlah menjadi alasan untuk tidak belajar. Justru belajar dari rumah dapat memantapkan pendidikan yang tidak diajarkan di sekolah. Syaratnya adalah orangtua harus ikut andil dan aktif dalam usaha mencerdaskan kehidupan Bangsa, seperti yang dicita-citakan Ki Hajar Dewantara.
Belajar di rumah, memaksimalkan peran orangtua
Ki Hajar Dewantara menganggap penting peran orangtua dalam pendidikan. Baginya, pendidikan pertama bagi anak adalah bersumber dari keluarga. Oleh karenanya, pandemi Corona yang melanda hampir seluruh belahan dunia bukanlah menjadi masalah, ketika orangtua dapat memaksimalkan perannya di rumah. Pendiri Taman Siswa ini berpendapat ada tiga peran orangtua sebagai pendidik di keluarga: penuntun, pengajar, dan pemberi contoh (Suprihoko, dalam Janika, 2017).
Sebagai penuntun, peran orang tua tidak boleh dikesampingkan. Pada peran inilah, karakter anak dibentuk. Oleh karenanya, sebisa mungkin orangtua harus berusaha menutupi keburukannya di hadapan anak-anaknya, serta menggantikan dengan budi pekerti luhur.
Masa Pandemi Corona sangat memberi ujian tersendiri baik orangtua dan anak. Anak merasa bosan berada di rumah terus menerus, sementara orangtua pun merasakan hal yang sama. Apalagi, tentu Corona berimbas pada perekonimian keluarga.
Namun, justru dengan ujian inilah, karakter orangtua dan anak dapat terbentuk. Orangtua harus tetap berfikir jernih serta yakin bahwa dengan pengorbanan mendidik anak di rumah semasa Corona akan berbuah manis pada waktunya.
Agar proses pendidikan di saat wabah Corona efektif, maka orangtua dan anak harus bersama-sama membuat kesepakatan target dan jadwal belajar di rumah (Ginanto, 2020). Meski orang tua mempunyai kendali atas anak di rumah, namun anak tidak boleh ditinggalkan dalam setiap keputusan keluarga, termasuk aturan di rumah selama Karantina.
Peran kedua menurut salah satu anggota Tiga Serangkai ini, adalah orangtua sebagai pengajar. Inilah mengapa Ki Hajar juga sangat concern pada pendidikan perempuan. Karena pada akhirnya, Ibu adalah sebagai muara pengajaran pada anak-anak mereka. Ki Hajar mempunyai pendangan bahwa guru atau pengajar terbaik anak adalah Ibu di rumah, karena Ibu memiliki ikatan emosional yang tinggi serta mengetahui karakter anak, sehingga anak lebih mudah memahami karena telah memiliki bonding dengan ibu ketimbang dengan bapak (Rahardjo, 2009).
Oleh karenanya, peran emak-emak sangat penting untuk minimal mendampingi anak ketika mereka melaksanakan pendidikan daring. Ibu dibantu dengan Ayah harus bersedia membantu apabila anak mempunyai tugas atau PR dari guru, serta mengarahkan untuk mencari sumber ketika mereka tidak mampu menjawab atau mengerjakan tugas dari guru. Teknologi yang serba canggih menjadi keuntungan bagi orangtua masa kini, tinggal bagaimana orangtua dapat mengarahkan pada sumber yang tepat bagi anak dalam mengarjakan tugas selama belajar dari rumah.
Peran orangtua yang ke-tiga adalah sebagai pemimpin pekerjaan atau pemberi contoh. Anak dapat dikatakan sebagai prototype orangtua. Karena bagi anak, ibu adalah cinta pertamanya. Serta Ayah adalah pelindung dan panutan pertama bagi mereka. Sehingga setiap gerak langkah orangtua selalu direkam dan ditiru oleh anak.
Oleh karena itu, masa work from home orang tua harus memberi contoh bagaimana seharunya bekerja atau belajar dari rumah. Orangtua tidak boleh cuek atau acuh terhadap pekerjaan anak. Sesibuk apapun ibu di dapur, serepot apapun ayah mencari nafkah, harus tetap memberikan slot waktu untuk dapat bekerja sama dan bermain dengan anak.
Selain itu, work from home juga dapat dijadikan sebagai pendidikan informal bagi anak. Ibu dapat mengajari anak untuk memasak, mencuci piring, mencuci baju, serta urusan rumah tangga lainnya. Inilah saatnya Ibu dapat mengajarkan untuk memberi tanggungjawab pada anak.
Ayah dapat juga mengajarkan anak pekerjaan-pekerjaan yang dapat menghasilkan income. Atau pekerjaan teknis seperti servis mesin motor, mencuci motor atau mobil, membuat kerajianan kayu, membuat kola mikan, dll.  Momen bekerja dan belajar dari rumah dapat mengajarkan anak life skill yang tidak diajarkan di sekolah. Dengan demikian, selesai wabah Corona, anak akan mendapatkan nilai-nilai dan modal yang lebih kuat untuk terjun di gelanggang dunia nyata nantinya.
Ketika orangtua telah bersemangat dalam mendukung proses belajar mengajar di rumah, tinggal sekolah dan pemerintah dapat memaksimalkan perannya dalam peningkatan kerjasama rumah dan sekolah. Di antaranya, guru tidak perlu memberikan tugas yang terlalu banyak dan bersumber dari LKS dan LKS dan LKS.
Guru hendaknya memberikan tugas yang memadukan antara pendidikan kognitif dan non-kognitif, sehingga orangtua dapat dengan mudah mendampingi anak dan membantu tugas-tugas anak dari sekolah. Sekolah juga tidak perlu memaksakan untuk video call menggunakan zoom atau piranti lain yang mengabiskan kuota internet, guru dapat memanfaatkan platform WhatsApp (WA) yang cendurung murah dan efektif.
Intinya, belajar dari rumah tidak perlu menuntut ketuntasan kurikulum, yang lebih penting adalah masa karantina ini dapat mengajarkan pada anak untuk dapat mengasah keterampilan berfikir kritis, berakhlak mulia, dan keterampilan hidup yang dibutuhkan anak ketika terjun di masyarakat kelak. Tentu, peran orangtau sangat vital untuk mewujudkannya.
Ratusan tahun yang lalu, Ki Hajar Dewantara telah mewanti-wanti pentingya peran orantua dalam pendidikan. Hingga majalah Wasita (majalah terbitan Taman Siswa) mempunyai kolom tersendiri yang berisi kabar untuk orangtua, serta informasi-informasi yang penting guna memaksimalkan peran pengajaran dan pendidikan anak di rumah. Majalah Wasita adalah ikhtiar yang dibuat oleh Ki Hajar untuk me-reach out orantua dari sekolah. Sekolah saat ini, hendaknya meniru langkah Taman Siswa yang selalu memberi informasi dan selalu aktif berkomuniasi dengan orangtua meski saat itu teknologi/informasi  masih sangat terbatas.
Selamat hari pendidikan nasional, selamat hari lahir Ki Hajar Dewantara. Mari kita tingkatkan lagi semangat belajar di rumah. Sebagaimana salah satu fatwa Ki Hajar: “Lawan Sastra Ngesti Mulya” yang artinya dengan ilmu kita menuju kemuliaan. Juga pesan Ki Hajar yang sangat terkenal "Setiap kita adalah guru, dan setiap rumah adalah sekolah". Kita efektifkan lagi komunkasi sekolah dan rumah, rumah dan sekolah. Sehingga ketika saatnya sekolah tiba, putra-putri kita terlahir menjadi putra-putri yang baru; yang lebih tinggi akhlaknya, yang lebih kritis berfikirnya, dan lebih terampil dalam skill bermasyarakat. Dirgahayu Pendidikan Indonesia.  



Comments

Popular posts from this blog

Sampling

This slides provide you:  1. the definition of sampling  2. sampling frame 3. determining the size of your sample  4. sampling procedure (Probability and non-probability)  Please follow/download the link for the Power Point Slides

The Legend of Jambi Kingdom (Narrative Text)

   Image: https://www.gambarrumah.pro/2012/10/400-gambar-kartun-rumah-adat-jambi.html Once upon a time, there were five villages, Tujuh Koto, Sembilan Koto, Petajin, Muaro Sebo, and Batin Duo Belas. The villagers of those five villages lived peacefully. They helped each other. Soon, the number of villagers grew highly. The villagers thought that they needed a leader to guide them. They wanted to have a king. So, the leaders from the five villages had a meeting. They wanted to set the criteria who could be their king. "Our king should be physically strong," said the leader from Tujuh Koto. "I agree. The king should be able to protect us from the enemies, "said one leader. "Not only that. He should also be well respected by us. So, the king should be strong and have good manners," said the leader from Petajin. "Then, let’s set the criteria. I have a suggestion. The king should be strong from fire. He cannot feel the pain if we burn him," said leade

The Legend of Jambi (Narrative Text)

                                                    Gambar: http://www.ceritadongenganak.com   Once upon a time, there lived in Sumatra Island a very beautiful girl, Putri Pinang Masak. The girl was also a very kind-hearted person. This made everyone liked her so much. Many youth and princes from other countries desire her to be his wife. Nevertheless, she refused their proposals because she had not wanted to get married yet. One day, there was a very wealthy king, the king of the east kingdom, coming to her village. He proposed to marry her. Putri Pinang Masak was afraid to refuse the king’s proposal although she actually did not love the king, the ugly-faced man, at all. She knew that the king would be very angry and there would be a battle if she refuse his desire. Putri Pinang Masak was so confused before she got an idea to refuse the king’s proposal. Then she said to the king that she accepted his proposal on one condition. The king should be able to build a very large and beautif