“Mister, di mana saya dapat
memperoleh soal ujian Agama?” Saya yang kebetulan menjadi penitia ujian
semester heran dan malah kembali bertanya, “Loh, kan kami sudah berikan secara
lengkap sesuai jumlah daftar hadir, apa masih kurang?”
“Bukan Sir, agama saya Kristen, tapi yang ada hanya soal
Agama Islam.”
“Astaghfirullahalazim,…” saya pucat pasi. “Sebentar nak,
saya cek dulu.” Setelah bertanya pada ketua dan sektretaris panitia, ternyata
soal untuk siswa agama Kristen belum sampai. Masih dalam perjalanan dibawa oleh
Bapak Pastur. Rasa bersalahpun
menggeluti hati. Betapa siswa non-Muslim di sekolah saat itu harus tersela
konsentrasinya karena soal belum tiba. Belum lagi, mereka harus kehilangan banyak
waktu atas keterlambatan soal. Dalam hati saya bergumam, hal ini tidak akan
terjadi apabila siswa beragama Kristen mempunyai guru PNS di sekolah,
sebagaimana siswa Agama Islam yang memiliki tiga guru Pendidikan Agama Islam.
Belum lagi disaat teman-teman Muslim bercengkrama dengan
keluarga di rumah selepas solat Jumat, mereka masih harus mencari jam tambahan
untuk belajar Agama. Pun mereka harus belajar di Gereja, bukan di dalam kelas,
bukan di sekolah. Diajar oleh Pastur atau Pendeta, bukan guru abdi negara. Kenapa
mereka harus menjadi beda? Mengapa pemerintah tidak mengangkat satu atau dua
guru PNS yang bertugas mengajar di kabupaten, jika satu guru per-satu sekolah
dirasa tidak memungkinkan?
Masih
ada beberapa praktek “diskriminasi” lain kepada siswa non-muslim di sekolah.
Dalam prosesi berdoa pagi misalnya, meski sudah SMA, banyak pelajar masih
sering berdoa dengan melafazkan surah Alfatihah
dengan suara nyaring seperti layaknya siswa Sekolah Dasar. Sehingga yang
beragama non-Muslim, mau tidak mau mengikuti membaca surah Alfatihah atau sekedar menyimak doa yang tidak mereka kenal. Atau,
pada saat upacara hari Senin, siswa non-Muslim harus mengikuti doa dalam bahasa
Arab (tanpa ada terjemahan bahasa Indonesia), sebelum upacara pengibaran
bendera selesai. Belum lagi serangan verbal atau perlakuan yang tidak sama yang
sering diterima oleh siswa yang berbeda agama.
Bentuk-bentuk
diskriminasi atas nama agama di sekolah adalah bentuk ketidakadilan yang
dipertontonkan di mana ilmu dan pengalaman ditempa dan
ditimba. Apalagi, saya juga beberapa kali membaca informasi dari koran nasional,
bahwa siswa-siswi Muslim di Bali, NTT, Ambon, dan Papua kurang lebih mempunyai
pengalaman yang serupa yang dirasakan oleh anak-anak di sekolah kami yang non-muslim.
Bahkan pernah beberapa kali saya baca dari berita baik cetak, online, maupun elektronik,
bahwa siswi di Bali dilarang mengenakan hijab di sekolah. Hal ini jelas, bahwa
diskriminasi antara mayoritas ke minoritas masih terjadi di Indonesia terutama di
tingkat sekolah.
Sebenarnya
berdasarkan pengamatan yang saya lakukan baik dari sekolah-sekolah yang pernah
saya ajar, atau dari berita dari media masa, saya dapat menarik kesimpulan
bahwa sebenarnya diskriminasi yang terjadi bukanlah diskriminasi Islam terhadap
Kristen, atau Hindu terhadap Islam, atau Kristen terhadap Islam. Akan tetapi lebih
kepada Mayoritas mendapatkan privilege
atau hak istimewa terhadap minoritas (Seifert, 2007). Sebenarnya tidak salah,
namun privilege terkadang disalah gunakan.
Sehingga timbul kesan diskriminasi terhadap siswa Muslim terhadap Non-Muslim,
atau Non-Muslim terhadap Muslim. Begitu juga dengan yang di Bali, atas nama
keseragaman, siswi disarankan untuk tidak mengenakan hijab. Padahal, mengenakan
hijab adalah bagian dari praktek ibadah umat Islam.
Bukankah
dasar negara kita adalah PANCASILA. Bahwa setiap warga negara harus mendapatkan
keadilan sosial. Diskriminasi atas nama agama jika dibiarkan akan menjadi
bongkahan es yang lama kelamaan akan membesar dan membesar yang akan
membahayakan persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia. Apalagi yang mendapat
perlakuan tidak sama adalah generasi muda yang kelak akan memegang estafet
pembangunan Bangsa dan Negara Indonesia. Lantas, akankah mereka dapat memimpin
dengan adil, jika di dalam memori mereka tertanam suatu praktek kesenjangan
yang tidak akan pernah hilang dari memori mereka.
Lalu
masih perlukah siswa SMA berdoa di pagi hari dengan suara keras seperti siswa
Sekolah Dasar, padahal sudah barang tentu seluruh siswa hafal dengan surat Al-fatihah? Atau haruskah membaca doa
pada saat upacara bendera dengan bahasa Arab tanpa translasi bahasa Indonesia?
Kemudian, tidakkah pemerintah peka untuk juga mengangkat guru Agama Non-Muslim,
setidaknya satu guru di satu kabupaten? Atau haruskah sekolah melarang siswa
memakai jilbab demi keseragaman? Jika Bhineka Tunggal Ika masih menjadi motto
pemersatu Bangsa, haruskah dengan mengatas namakan agama kita perlakukan beda
generasi muda Indonesia?
Pendidikan
karakter hendaknya mencakup pada pemberian hak yang sama pada seluruh entitas di
sekolah. Mayoritas tak perlu melulu menuntut privilege yang lebih. Sebagai mayoritas; guru, kepala sekolah, dan
siswa harus bahu membahu agar siswa minoritas tidak merasa ditinggalkan.
Sebagai mayoritas guru dan siswa harus dapat bahu membahu agar hak minoritas
terpenuhi. Revolusi mental hendakanya bukan hanya sekedar retorika, namun harus
dapat diejawantahkan dalam kehidupan terutama pada kehidupan sekolah yang
dinamis. Hal ini penting, agar bola salju diskiriminasi atas nama agama tak
lagi membesar dan mengoyak persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia. Terakhir,
siswa berhak mendapat pengajaran Agama dari guru yang se-Agama dengan mereka.
Sebagaimana yang disebutkan oleh Parker
(2010),
bahwa harus ada guru Muslim untuk siswa Muslim, guru
Hindu untuk siswa Hindu, guru Katolik untuk siswa Katolik, dll.
Comments