Selama
ini kita masih terkesan meraba-raba dalam kegelapan terhadap lemahnya mutu
keluaran peserta didik. Pemerintah dalam hal ini kementrian pendidikan selalu
terpaku pada peningkatan guru atau mengandalkan bongkar pasang kurikulum. Tidak
sedikit dana yang digelontorkan pemerintah pusat dan daerah untuk sekedar
memberikan pelatihan kepada guru-guru. Akan tetapi pemerintah terkesan lupa
bahwa pelatihan masif yang selama ini diadakan tak pernah dievaluasi.
Pelatihan-pelatihan untuk guru terkesan sekedar formalitas belaka, atau untuk
menghabiskan anggaran pendidikan. Bahkan, untuk memberikan kesan bahwa
pemerintah memperhatikan kualitas guru, banyak sekali pelatihan-pelatihan
diadakan di hotel berbintang lima.
Selain
memberikan peltihan kepada guru, Kementrian Pendidkan juga mengupayakan
reformasi pendidikan dengan mengganti kurikulum KTSP dengan Kurikulum 2013.
Namun, sekali lagi belum ada kejelasan tentang kesiapan pemerintah dalam
sosialisasi pergantian kurikulum ini. Fokus pemerintah untuk memberikan
perhatian kepada guru, juga pada kurikulum tidak salah; akan tetapi pemerintah
terkesan lupa bahwa ada elemen penting yang selama ini terkesan dikesampingkan:
kepemimpinan kepala sekolah.
Kepemimpinan
kepala sekolah adalah salah satu faktor utama untuk memajukan pendidikan. Akan
tetapi, unsur penting ini belum menjadi konsentrasi pemerintah saat ini.
Padahal, guru tidak akan bisa mengajar dengan baik jika tidak mempunyai
kepemimpinan kepala sekolah yang bisa menginspirasi mereka untuk mengajar secara
profesional. Kurikulum di sekolah pun tak akan bisa diterapkan dengan sempurna,
apabila kepala sekolah tidak cekatan dalam memimpin dan membimbing guru-guru
dalam mengaplikasikan pengajaran sesuai tuntutan kurikulum. Spillane (2004)
menegaskan bahwa di mana ada sekolah yang berkualitas, pasti di dalamnya
tedapat kepala sekolah yang berkualitas pula. Seberapa banyakpun guru-guru
hebat di sekolah itu, jika tidak ada kepemimpinan kepala sekolah yang efektif, maka
tidak akan terlahir sekolah yang bermutu.
Selama
ini, kita selalu mengartikan kepemimpina kepala sekolah itu lebih pada
kepemimpian birokrasi. Kita terkesan lupa bahwa ada tugas dasar kepala sekolah yang
lain: Instructional leader, dan Community Leader. Nah yang menjadi kecondongan kita di
Indonesia adalah, pada tugas kepala sekolah sebagai seorang bureaucrat dan community leader. Kepala sekolah hanya fokus pada bagaimana mampu
mencari sumber dana untuk membiayai keperluan sekolah, menjadi pimpinan birokrasi
surat menyurat, atau menjadi perwakilan sekolah untuk rapat-rapat dengan dinas
pendidikan, dan yang lebih penting mampu memimpin rapat dengan komite sekolah
untuk meminta uang sumbangan pembanguan. Tapi pernah tidak kita berfikir bahwa
tugas kepala yang tidak kalah penting adalah sebagai instructional leader?. Yakni memimpin para guru dan siswa untuk
menciptakan suasana belajar mengajar yang kondusif. Instructional leader atau learner
leader, berarti bahwa semua unsur di dalam sekolah termasuk guru, siswa dan
kepala sekolah dalah pembelajar.
Kondisi
yang terjadi di negara kita saat ini adalah, siswalah yang dipaksa untuk
belajar. Akan tetapi, guru tidak pernah mendapatkan hak mereka sebagai seorang
pembelajar pula. Logikanya begini, ilmu itu selalu berkembang, pengetahuan dan
cara berfikir anak didik dari tahun ke tahun itu selalu berubah; apabila guru
tak pernah dilatih untuk mengikuti perkembangan zaman, hasilnya akan sangat
berbahaya. Akan terjadi fenomena seperti ini: “Kok anak didik jaman sekarang
berbeda dengan jaman kita dulu ya?”, atau “Kok murid-murid sekarang tidak
menghargai guru ya?” Terhadap fenomena seperti ini, yang selalu disalahakan
adalah murid. Dalih-dalih tak beralasanpun dikeluarkan: mulai dari menyalahkan
orang barat, sampai pada menyalahkan internet atau televisi.
Padahal
nyatanya adalah, guru tidak pernah mendapatkan proses yang dinamakan maintenance. Coba kita evaluasi, adakah
pernah kepala sekolah melakukan classroom
walkthrough (pengawasan kelas): yakni kepala sekolah masuk ke kelas
(sendiri atau dalam grup), baik secara rahasia atau sudah diberitahu sebelumnya
untuk mengevaluasi kualitas guru. Atau pernah tidak, kepala sekolah memimpin Professional Learning Community (PLC)
yaitu semacam pelatihan dalam lingkup kecil, di sekolah, namun dilakukan secara
rutin. Pelatihan ini bisa dilakukan pada guru satu rumpun, atau lintas
rumpun. Komunitas belajar kecil dalam
lingkup sekolah itu sangat penting untuk membudayakan kultur kerjasama antar
guru, dan kultur belajar untuk guru.
Logikanya
begini, bagiamana mungkin kualitas guru bisa dijamin jika tidak ada yang
mengawasi kualitas mereka. Guru dibiarkan saja mengajar di kelas, masalah guru
sudah sesuai standar atau belum, bukan urusan kepala sekolah. Pokoknya asal
sudah PNS itu berarti gurunya udah sangat mahir, sehingga tidak perlu ada observasi
kelas untuk melihat kondisi real yang
dilakukan guru di kelas. Ditambah lagi pelatihan yang didapat guru hanya dalam
sekala massif dan terpusat, yaitu seminar dalam jumlah besar yang diadakan oleh
dinas pendidikan. Di mana seminar tersebut dalam satu kelas berjumlah 40-100
orang, dengan satu atau dua pemateri. Adakah yang berani menjamin, peserta
seminar akan memperhatikan pemateri, atau malah peserta hanya datang untuk
menerima uang transportasi? Dalam tulisan ini saya akan membedah sedikit
tentang fungsi kepala sekolah sebagai learner
leader atau instructional leader.
Apa itu Learner
Leader/Instructional Leader?
Nancy
Colflesh seorang pakar kepemimpinan sekolah di Amerika Serikat, yang juga sebagai
dosen saya di dua mata kuliah (Leader Teacher
Learning dan School Leadership
Internship) selalu menegaskan, bahwa semua orang di dalam sekolah adalah
pembelajar: siswa adalah pembelajar, staff tata usaha adalah pemebelajar, guru
adalah pemebelajar, bahkan kepala sekolah itu sendiri adalah pembelajar. Dalam
hal ini, kepala sekolah berfungsi sebagai pemimpin dalam menjalankan
fungsi-fungsi pembelajaran. Termasuk berdiri di barisan terdepan dalam memimpin
guru untuk selalu belajar.
Di
Amerika saat ini tengah digenjot program PLC. Dufour, Dofour & Eaker (2012) mendefinisikan PLC
sebagai kegiatan yang di dalamnya para guru berkomitmen untuk bekerja
secara kolaboratif dan berkesinambungan dalam melakukan proses belajar untuk
meningkatkan kemampuan mengajar dan pedagogic, dengan tujuan akhir untuk
meningkatkan prestasi peserta didik. PLC sangat efektif untuk menciptakan semangat
untuk bekerja dalam tim. PLC biasanya dilakukan dalam kelompok kecil; di mana untuk
tahap awal akan ada seorang coach (pelatih)
untuk mengarahkan agar kegiatan ini berjalan dengan baik. Coah inilah yang harus diperankan oleh kepala sekolah, atau wakil
kepala sekolah. Kegiatan PLC biasanya dilakukan minimal satu bulan sekali. Dalam
PCL ini semua saling berbagi: tentang perencanaan pengajaran, proses pengajaran,
serta proses evaluasi pengajaran.
Dalam
PLC biasanya diadakan kegiatan semacam classroom
walkthrough. Classroom Walkthorugh adalah kegiatan di mana sekelompok guru
mengadakan observasi terhadap satu orang guru, selama maksimal 15 menit yang
kemudian mengadakan diskusi untuk memberikan feedback yang sifatnya membangun. Classroom Walkthrough biasanya dilakukan secara bergiliran, yakni
siapa yang diobservasi dan siapa yang mengobservasi. Dapat dibayangkan betapa
hebatnya kualitas guru, jika minimal setiap bulan ada yang memberikan evaluasi
tentang kualitas pengajaran. Kegiatan ini dapat memotivasi guru, karna guru akan
merasa bahwa mereka tidak bekerja sendirian dalam meningkatkan potensi siswa. Kegiatan
observasi kelas ini dapat juga membantu mereka yang masih mencari-cari tahu
bagaimana cara mengajar yang efektif.
Kelemahan
guru-guru di negara kita saat ini adalah, bahwa masing-masing kita sudah merasa
bisa, sehingga tidak mau lagi mengadakan sharing
atau bertanya jika mempunyai permasalahan. Terkadang, guru-guru juga merasa
malu jika harus berkonsultasi kepada teman, karna takut diketawakan atau
dianggap belum bisa mengajar. Dengan adanya program PLC yang dipimpin kepala
sekolah atau wakil kepala sekolah, akan dapat mengikis ego atau rasa malu yang
dimiliki oleh seorang guru.
Sebenarnya
masih banyak lagi unsur-unsur fungsi kepala sekolah sebagai learner leader/instructional leader.
Namun dua kegiatan ini (PLC dan classroom walkthrough) dapat mewakili aktivitas
lain untuk mebiasakan guru bekerja secara kolaboratif dalam mencapai tujuan dan
visi sekolah.
Untuk
bisa menajdi kepala sekolah yang mampu menjadi pemimpin dalam proses
pembelajaran (instructional leader),
tentunya dibutuhakn prasayarat tertentu. Setidaknya ada tiga kemampuan dasar yang
harus dimiliki kepala sekolah menurut Glickman (2011): prasyarat pengetahuan,
prasyarat skill teknis, dan prasyarat kemampuan interpersonal. Prasyarat pengetahuan
berarti kepala sekolah harus memiliki pengetahuan tentang: pedagogic, pendektan
pengajaran, metodologi pengajaran, serta perkembangan perserta didik.
Pengetahuan interpersonal berarti,
kepala sekolah harus mampu melakukan pendekatan pada guru, siswa dan pegawai
sehingga tercipta susasana kekeluargaan di dalam sekolah. Pengetahaun skill teknis
berarti, kepala sekolah harus mempunyai wawasan dan kemampuan di bidang Information, Communication and Technology
(ICT) serta kemampuan mengolah data (data sekolah, data sisiwa, dan data proses
pengajaran) sehingga tercipata budaya pengambilan keputusan yang berdasarkan
pada data.
Ternyata
untuk menjadi kepala sekolah itu tidak mudah ya? Minimal seorang kepala sekolah
itu harus mampu menjadi pemimpin dalam pembelajaran, pemimpin dalam birokrasi sekolah,
dan pemimpin lingkungan sekitar. Yang saya bahas dalam tulisan kali ini baru
kulit luarnya dari salah satu tugas kepala sekolah sebagai instructional leader. Kenyataan yang ada di lapangan adalah,
pemerintah terkesan menganggap sepele proses perekturan kepala sekolah. Proses
perekrutan selama ini terkesan tertutup dan hanya mereka yang dekat dengan kepala
daerah atau mereka yang mampu memberikan uang pelicin yang bisa menjadi kepala
sekolah. Guru yang mempunyai kemampuan leadership
dan mempunyai idealisme yang tinggi, akan sangat sulit sekali menjadi kepala
sekolah. Dari laporan wartawan senior Tempo, Nanang Surisna (2009), melaporkan
bahwa dalam beberapa kasus, untuk menajadi kepala Sekolah di Jakarta, seorang
calon kepsek SD harus menyiapkan Rp. 50 juta, kepala sekolah SMP Rp. 60 juta,
dan Rp. 60 juta untuk menjadi kepala sekolah SMA (Dapat dicek di: http://www.tempo.co/read/news/2009/01/28/058157279/Departemen-Pendidikan-Dituding-Paling-Banyak-Lakukan-Suap
. Kasus serupa juga terjadi di Jawa tengah, di mana ada calon kepala sekolah
yang diwajibkan membayar Rp. 60 juta dari oknum pemerintah daerah untuk
memuluskan proses seleksi (Silahakn dicek di: http://willyediyanto.wordpress.com/2013/01/05/menjadi-kepala-sekolah-baru/).
Jika fakta di lapangan berbicara jabatan kepala sekolah adalah jabatan yang
dapat diperjaul belikan, maka tak akan mungkin seorang kepala sekolah mampu
memenuhi minimal 3 syarat utama yang dikemukanan oleh Glickman. Hasilnya,
sekolah akan dijadikan sebagai ladang memperoleh proyek, walhasil proses
belajar mengajar tak lagi menjadi fokus utama kepala sekolah.
Sempat ada harapan baru yang
digulirkan pemeritah Jakarta pada awal-awal 2011/2012; di mana Kepala Sekolah
diangkat dari proses recruitment yang fair, yang disebut lelang jabatan. Akan
tetapi, gaung lelang jabatan kepala sekolah akhir-akhir ini tak lagi terdengar.
Harusnya, proses seleksi ini dapat diteruskan dan ditularkan ke
propinsi-propinsi lain di Indonesia. Lelang jabatan kepala sekolah diyakini dapat
menjadi awal kebangkitan kualitas pendidkan di sekolah. Karena tak bisa
dipungkiri lagi, bahwa kepala sekolah adalah jabatan penting yang terkesan
dilupakan oleh pemerintah. Tanpa ada kepala sekolah yang berkualitas tak akan
tercipta iklim sekolah yang kondusif. Jika iklim sekolah kondusif tidak
tercipta tak akan terlahir pendidik dan pengajar yang berkualitas. Jika guru
berkualitas tidak muncul maka keluaran siswa yang berkualitas pun tak akan ada.
Jadi, mari kita mulai memikirkan kualitas kepala sekolah untuk mewujudkan
pendidikan yang lebih baik.
Comments