Beberapa
hari yang lalu saya berkesempatan bincang-bincang santai dengan guru honorer
yang saya temui di beberapa tempat di Jambi. Dari hasil obrolan itu, ada
beberapa guru yang curhat bahwa gaji mereka masih jauh di bawah upah minimum
regional. Tak kalah dengan Presiden, saya yang baru saja pulang dari 6 tahun
pendidikan dan belum sempat bergelut dengan pendidikan di tanah air sangat
kaget dan heran. Seperti yang diberitakan beberapa media belum lama ini, Presiden
sampai terheran-heran ternyata di Indonesia masih ada guru yang bergaji di
bawah Rp. 500.000 per/bulan. Untuk menguji kebenaran informasi ini, saya
memposting pertanyaan di beranda Facebook pribadi saya, dan ternyata benar,
masih banyak sekali tenaga pendidik di negeri ini yang masih tidak seberuntung kolega
mereka yang sudah menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) atau Pegeawai Negeri
Sipil (PNS).
Akan
sangat jomplang sekali jika harus membandingkan
guru PNS versus guru Honorer, bahkan akan sangat, sangat jomplang jika dibandingkan antara guru PNS sertifikasi versus guru
Honorer Sekolah. Sebagai perbadingan saja, guru PNS sertifikasi dapat
mengantongi gaji kurang lebih tujuh juta perbulan di luar Tunjangan Penghasilan
Pegawai (TPP). Sedangkan guru honorer SD, hanya mendapat gaji satu juta rupiah yang
dibayarkan setiap tiga bulan sekali. Artinya, guru honorer SD hanya bergaji Rp.
300 ribuan perbulan. Bahkan masih ada juga yang bergaji Rp. 200.000/bulan.
Padahal beban mengajar dan beban pekerjaan mereka adalah sama.
Padahal,
di Jakarta para aktivis pendidikan terus menerus mengkampanyekan tagar “#AyoJadiGuru”.
Para pakar dan pengamat pun terus memberikan wasiat agar para guru mampu
menanamkan cita-cita menjadi guru pada peserta didiknya. Mereka berdalih di
Finlandia, Singapura, Korea Selatan, dan beberapa negara-negara maju pendidikannya
adalah mereka yang para generasi mudanya berebut untuk masuk di Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendikan. Input bagus, output bagus, gajinya pun bagus. Tapi
di negara kita guru yang nyata-nyata bergelar Sarjana bergaji lebih rendah dibanding
pekerja yang berijazah Sekolah Menengah.
Lalu
bagaimana mereka yang telah terlanjur mengkampanyekan gerakan #AyoJadiGuru?
Atau bagaiamana kami para guru yang terus menerus menamkan virus guru pada anak
didik, toh setelah menjadi guru (honorer) gaji mereka tak lebih dari lima ratus
ribu? Apakah ini adil? Bukankah ini bentuk praktik diskriminasi NYATA antara
guru PNS versus guru honorer? Lalu di mana peran pemerintah dalam menjamin kesejahteraan
para pendidik? Bukankah Undang-undang Guru dan Dosen pasal 14 ayat 1 meyatakan
bahwa guru berhak mendapatkan penghasilan di atas kebutuhan minimum dan
kesejahteraan sosial. Namun, nampaknya, pemerintah baik pusat maupun daerah belum
hadir dalam melaksanakan amanat Undang-undang untuk guru honorer.
Angin
segar sempat terhembus dari pemerintah pusat, di mana saat itu Bapak Presiden
sempat heran dengan gaji guru honorer. Berarti pucuk pimpinan pengayom guru
telah mendengar keluh kesah pahlawan yang sangat berjasa ini. Dengan demikian, kemungkinan
besar pemerintah akan segera memberikan upaya nyata agar tidak terjadi lagi gap
antara guru abdi negara dengan guru kontrak negara.
Bukan
hanya itu, kabar baik muncul dari program PPPK (Pegawai Pemerintah dengan
Perjanjian Kerja). Pemerintah pusat telah mengeluarkan peraturan yang intinya
guru PPPK akan mempunyai gaji yang setara dengan rekan-rekannya di PNS, hanya
saja mereka tidak menerima pensiun. Tentu ini suatu terobosan yang apik,
terobosan yang luar biasa meski sebenarnya tuntutan honor K2 yang menuntut
diangkat sebagai PNS sesuai janji-janji pemerintah belum dapat diwujudkan. PPPK
tentu pantut diapresiasi, karena setidaknya kesejahteraan guru dapat terbantu. Paling
tidak, jurang gaji antara guru pagawai negeri dan guru non-pegawai negeri akan
sedikit terpangkas.
Namun
ternyata, seiring berjalannya waktu, PPPK menuai perlawanan dari pemerintah
daerah. Perseteruan pemerintah daerah dengan pemerintah pusat kembali terjadi.
Setelah beberapa bulan yang lalu kita disuguhkan perseteruan tentang gaji 14
untuk PNS, kini kita kembali dipaparkan perseteruan tentang pengangkatan guru PPPK.
Perlawanan pemerintah daerah ini bukan tanpa alasan, karena pemerintah pusat
terkesan melempar batu sembunyi tangan. Ibarat peribahasa awak yang payak membelah ruyung, orang lain yang beroleh sagunya.
Pemerintah pusat dalam hal ini telah membuat
suatu keputusan yang memberatkan daerah, namun tanpa melibatkan daerah. Rakyat
sudah terlanjur tahu. Berita telah tersebat ke mana-mana. Rakyat terlanjur
memuji pemerintah, namun ternyata pemerintah pusat hanya sekedar dalam tataran membuat
kebijakan. Namun pelaksana dan pemikul beban kebijakan tersebut adalah
pemerintah daerah yang tak tahu menahu, alih-alih dilibatkan dalam pembuatan
kebijakan tersebut. Permitah kota Jambi, kabupaten Batanghari, serta banyak
kabupaten/kota di Indonesia, secara terbuka memberikan perlawanan apabila gaji
guru PPPK ini dibebankan pada anggaran daerah.
Polemik
PPPK hingga saat ini belum menemukan titik temu. Pemerintah daerah tentunya tidak
akan bersedia memberikan APBD yang telah disahkan. Akan sangat sulit mengkotak-katik
anggaran yang telah berjalan. Itupun APDB mereka selama ini telah dianggarkan
untuk mensukseskan program-program pemerintah pusat, seperti 5% untuk BPJS
kesehatan, 10% untuk Alokasi Dana Desa, dan 25% untuk anggaran infrastruktur (Harian
Jambione, 28 Januari 2019). Tentu dari APBD ini yang mendapat kredit adalah
pemerintah pusat, namun yang bonyok adalah pemerintah daerah. Kalau ditambah
lagi dengan PPPK tentu PEMDA akan semakin susah bernafas. Program-program daerah
yang telah disusun oleh kepala deaerah terancam tidak terlaksana.
Lalu
bagaiamana menyikapi hal ini? Sebagai pengamat dan praktisi pendidikan, penulis
mempunyai beberapa solusi:
- PPPK
harus bersumber dari APBN. Hal ini dikarenakan pemerintah sejak awal tidak
melibatkan pemeritah daerah dalam pengambilan kebijakan ini, maka
pemerintah pusat harus bertanggungjawab dengan apa yang telah mereka
putuskan. Pemerinah daerah sudah terlalu banyak mensuport pelaksanaan
program-program pemerintah pusat.
- Kembalikan
pengelolaan guru pada pemerintah pusat, seperti halnya di era orde baru.
Hal ini dikarenakan, Indonesia tidak sedang kekurangan guru. Yang terjadi
adalah Indonesia sedang terjadi ketidak merataan guru. Del Granado et al (2007)
menyebutkan apabila guru dapat didistribusikan dengan rata, Indonesia akan
menjadi satu dari negara dunia dengan perbandingan siswa/guru yang paling
ideal yakni 1:16. Atau dengan kata lain satu guru mengajar 16 siswa. Tapi
sekali lagi, karena distribusi guru saat ini dikelola oleh pemerintah
daerah, maka sistem pemerataan guru tak dapat diatur secara sitemik dan
tersentral. Guru dengan sangat mudahnya mengajukan pindah tugas karena
kenal dekat dengan pejabat daerah. Akibatnya, guru menumpuk di kota, sementara
sekolah di pelosok kekurangan guru.
- Perguruan
Tinggi dalam hal ini Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan diharapkan tak
mengobral kursi calon mahasiswa baru dengan begitu mudahnya. Batasi pelamar,
naikkan passing grade, sehingga
input dari calon guru adalah mereka yang benar-benar mempunyai tekad
tinggi untuk menjadi pengajar dan pendidik. Yang terjadi selama ini kan
setiap tahun kampus mencetak jutaan lulusan baru, namun tak banyak sekolah
yang menyerap lulusan calon guru ini. Jika ini bisa dilaksanakan, maka
akan lahir nantinya calon-calon guru yang benar-benar berkualitas unggul. Sehingga
sekolahpun diuntungkan dengan kualitas output Perguruan Tinggi.
- Sekolah
Swasta harus berani mengambil terobosan yang cemerlang. Apabila sekolah
swasta dapat tampil seperti di kota-kota besar seperti di Jakarta, Bali,
dan Surabaya, maka sekolah negeri akan terpacu untuk memperbaiki diri.
Sekolah Swasta juga diharapkan mampu menampung lulusan FKIP yang tidak
lagi mampu ditampung oleh sekolah-sekolah negeri di Indonesia. Ditambah
lagi, dengan pengelolaan yang apik dan professional, guru di sekolah
swasta mampu memperolah gaji yang melebihi gaji guru pegawai negeri.
Akhirnya,
penulis hanya dapat berharap agar polemik guru bergaji rendah ini dapat sesegera
mungkin diatasi. Karena ini bukan lagi kesenjangan gaji, namun sudah dapat
dikategorikan diskriminasi terhadap guru non-pegawai negeri. Dengan beban kerja
yang sama, maka tak layak guru honor mendapatkan gaji lima ratus ribu, bahkan
ada yang hanya bergai 200 ribuan saja.
Pemerintah pusat janganlah lagi memberikan angin-angin segar, yang tak
dapat direalisasikan secara nyata. Jangan terkesan grasa-grusu, dan jangan
terkesan mengambil nama untuk popularitas semata.
Comments