Pagi ini saya mengadakan kuis untuk
siswa-siswi saya yang duduk di kelas XI IPA. Pada awal kuis saya memberi wasiat
agar siswa menutup segala jenis kamus, buku cetak, berikut buku catatan. Hal ini
untuk menghidarkan upaya-upaya yang melanggar kode etik persiswaan di kelas.
Saya membayangkan, kalau ada siswa yang protes “Sir… kenapa kami dilarang untuk
mencontek, sedangkan sekaliber calon presiden diperbolehkan mebaca kope’an dan dipertononkan ke ratusan
juta rakyatnya.”Jika hal ini terjadi pasti saya akan terdiap bermilayar bahasa,
karna mulut ini pasti tak akan mampu untuk mejawabnya.
Namun, alhamdulillah ke-tiga puluh
siswa saya tak ada satupun yang berprotes atau beretorika. Mungkin mereka sudah
tahu, pertanyaan itu terlalu berat, hanya Dilan yang mampu menjawabnya. Setidakanya hari ini saya sedikit lega. Betapa
tidak, reputasi dan idealisme seorang guru hampir saja tergadai jika saja saya tak
mampu memberi jawaban logis pada siswa saya.
Bukan hanya pada drama contekan yang
mebuat saya ketar-ketir, namun ada beberapa hal lain yang bakalan memberikan
beban baru bagi tenaga pendidik di seluruh Indonesia diantaranya: mencontek
akan susah dibasmi, budaya memberi pujian akan semakin sukar diterapkan, siswa
akan ikutan menjawab soal tak sesuai dengan apa yang ditanyakan.
Baiklah, mari kita kupas satu
persatu. Sosial media semacam Facebook, Instagram, dan Twitter dibanjiri dengan
komentar-komentar yang saling serang dari kedua kubu. Debat presiden memang
sudah usai, namun debat kusir antar kedua pendukung tak akan berhenti sampai debat
sesi kedua. Salah satu di antara yang paling sering dibicarakan adalah ketika
Ira Kusno, sang moderator, berulang kali menyampaikan bahwa soal masih disegel,
namun rupanya dijawab dengan menggunakan catatan yang sudah dipersiapkan. Yang
lebih menggelikan lagi, banyak sekali waktu yang dibiarkan mubazir, karena rupanya
catatan contekan hanya pendek-pendek saja, sementara waktu yang diberikan
adalah dua menit. Tentu ini menjadi contoh buruk untuk rakyat Indonesia terutama
pelajar dan mahasiswa. Berkaca pada debat, kaum terpelajar akan sangat boleh
menggunakan argumen bahwa mencontek itu wajar, karena calon presiden dan
calon presiden pun dimaklumkan. Namun, apakah itu etis?
Yang akan ketiban penderitaan pastilah
guru. Untuk memberikan tolak ukur pencapaian pembelajaran, sang pendidik tentu
harus mempunyai data yang akurat. Oleh karenanya, siswa akan diuji kemampuanya.
Lalu apa gunanya ujian, jika toh ternyata mencontek diperbolehkan. Apa bedanya
ujian dengan latihan harian? Kalau praktek percontekan dan perkope’an dibiarkan.
Oleh karena itu, jangan salahkan guru apa bila nantinya akan ada pembiaran
terhadap perilaku curang dalam kelas. Jangan hukum guru, jika nantinya tak ada
lagi hukuman pada siswa yang membawa contekan. Jangan ada lagi istilah pendidkan
karakter, karena karakter yang bagaimana lagi yang akan dibangun. Jika sosok panutan
utama dan tentunya diaminkan oleh Komisi Pemilihan Umum mempertontokan akrobat
mencengangkan.
Catatan kedua yang saya petik dari
debat putaran pertama adalah hilangnya budaya untuk memberikan pujian antar
satu sama lain. Pembawa acara debat, baik mbak Ira maupun mas Imam secara
gamblang membacakan soal yang intinya memberikan pernyataan penutup yang dikemas
dengan pujian pada lawan debat. Namun baik capres nomor urut satu ataupun dua tidak
memberikan pujian itu. Apakah ini efek dari bocoran soal yang sudah dihafal
oleh kedua calon? Atau apakah kedua calon merasa grogi tingkat tinggi sehingga
lupa memberi puja dan puji? Lagi-lagi tontonan drama debat dapat dijadikan preseden
buruk bagi siswa atau mahasiswa untuk tak lagi menghargai antar sesama kawan
atau kepada guru di sekolah. Bukan tanpa alasan, karena sekali lagi kita sedang
krisis panutan. Revolusi mental yang selama ini dikobarkan tinggi-tinggi terancam
ambruk hanya dalam durasi dua menit. Saya sebagai pendidik tentu ketar-ketir,
di tengah era keterbukaan seperti saat ini, saya was-was siswa tak akan lagi secara
tulus memberikan apresiasi kepada kami atau kepada sesama temannya. Ini bukan ungkapan
pesimistis, namun lebih pada antisipasi awal agar kehawatiran saya tak menjadi
kenyataan.
Catatan terakhir yang menajdi
curhatan saya adalah saya khawatir siswa-siswi saya nantinya tak akan menjawab
soal sesuai yang ditanyakan. Dalam catatan saya, kedua pasangan calon banyak
yang menjawab ngelantur, ngalor-ngidul, dan susah dibedakan fakta atau ngibul.
Hal ini tentu akan menjadi seranga balik buat siswa, jika seandainya saya memberikan
arguman bahwa siswa tak menjawab sesuai soal yang saya berikan. Saya khawatir,
karena kope’an yang telah mereka
siapkan siswa akan mengabaikan soal yang ada dan menyalin persis contekan yang
diam-diam mereka persiapkan. Yang labih menakutkan lagi, saya khawatir siswa
akan memberikan TUDUHAN pada saya bahwa soal yang saya buat tidak sesuai data. Atau
siswa menyuruh saya melaporkan sesuai prosedur hukum jika ada hal-hal yang saya
anggap tidak sesui dengan norma-norma yang ada. Kalau sudah seperti ini haruskah
saya mengemut batu?
Lalu bagaiamana seorang pendidik
mensikapinya. Tentu yang paling pertama saya lakukan adalah berdoa semoga
banyak siswa SMA saya yang tidak menonton debat, karena disibukkan mengerjakan
PR dari rekan guru kami yang lain. Dengan demikian tak perlu lagi kita sebagai
tenaga pengajar khawatir. Atau boleh juga jurus ke-dua dengan menyiapkan argument
seperti ini “Anak-anak selama Anda masih menyandang status siswa atau mahasiswa,
anda tetap tidak boleh mencontek; kalau Anda ingin mencontek boleh…. Tapi tunggu
anda jadi Calon Presiden, okay peace.”
Atau “Tunggu dulu, Anda boleh menjawab soal dengan mengabaikan butir-butir
soalnya, tapi tunggu sampai Ira Kusno yang menjadi guru Anda.” Atau “Anda boleh
saja mengabaiakan rasa saling menghargai, tapi anda harus jadi politisi dulu.”
Atau mungkin nasihat yang paling
bijak, salah satunya kita sebagai pendidik untuk dapat memberikan contoh suri
tauladan yang baik. Selain itu, juga memastikan bahwa siswa kita mempunyai
skill untuk memfilter contoh-contoh yang kurang baik yang dipertontonkan oleh
politisi-politisi di negeri ini. Akhirnya, saya tetap optimis bahwa siswa-siswi
yang saya ajar dan tentunya siswa-siswi dari penmbaca koran ini tidak akan mengadopsi
mentah-mentah drama-drama telenovela
debat capres putaran pertama. Terakhir, meski calon presiden boleh membawa kope’an saat ujian, guru tetap harus
tegas menindak siswa yang mencontek. Tak perlu dilaporkan pada aparat keamanan,
cukup Pak Guru dan Bu Guru saja yang menindak. Takutnya kalau dilaporkan ke
pihak keamanan, akan salah alamat. Bravo pendikan Indonesia, bravo pendidikan
karakter Indonesia.
Comments