Skip to main content

Dari Quran hingga TOGA: Jejak Pengabdian Ridho di Ujung Desa

Foto Pribadi Kegiatan Mengajar Mengaji

Langit Desa Tirta Kencana masih tampak biru bersih saat pertama kali aku menginjakkan kaki untuk menjalani Kuliah Kerja Nyata (Kukerta) Mandiri. Tak ada kawan seperjuangan, tak ada posko ramai seperti yang biasa kubaca dari kisah KKN mahasiswa lainnya. Kukerta kali ini adalah tentang aku, masyarakat, dan pengabdian dalam sunyi.

Kukerta Mandiri memang tak seperti KKN regular. Segalanya terasa lebih berat. Tak ada teman yang bisa diajak bertukar lelah atau ide. Semua program harus kurancang, kulobi, dan kulaksanakan sendiri. Tapi mungkin inilah pembelajaran paling sejati: bahwa nanti, saat aku kembali ke masyarakat setelah lulus, aku pun akan berjuang sendiri. Tanpa posko. Tanpa tim.

Selama hampir dua bulan, Juli hingga Agustus 2025, aku mencoba menyelami denyut kehidupan desa kelahiranku dengan sudut pandang baru: seorang mahasiswa yang ingin memberi makna.

Program pertama yang kulaksanakan adalah membantu Kepala Desa dalam upaya pengentasan buta aksara Quran. Setiap malam, aku ikut mendampingi ibu-ibu PKK yang bersemangat belajar mengaji. Dari mereka aku belajar, bahwa usia tak pernah jadi alasan untuk berhenti belajar.

Di sore hari, waktuku kualihkan ke Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT). Aku dipercaya untuk membantu mengajar Fiqih kepada para santri. Meski mereka masih kecil, semangat mereka menyala-nyala. Ada kepuasan tersendiri saat melihat wajah mereka yang bersinar setelah memahami satu bab pelajaran.

Aku juga ikut program RT dalam membudidayakan tanaman obat keluarga (TOGA). Bersama warga, kami menanam jahe, serai, kunyit, dan berbagai tanaman lainnya di pekarangan rumah dan lahan kosong. Kegiatan ini bukan hanya edukatif, tetapi juga mengikat keakraban.

Program lainnya yang tak kalah bermakna adalah keterlibatanku dalam distribusi makan siang gratis di sekolah dasar desa. Aku tak hanya membantu membagikan makanan, tetapi juga diminta menyusun laporan tertulis sebagai dokumentasi program. Rasanya menyenangkan menjadi bagian dari kegiatan yang menyentuh langsung kebutuhan anak-anak.

Salah satu pencapaian yang sangat berarti bagiku adalah saat dipercaya membantu desa membuatkan website untuk promosi wisata embung Tirto Mulyo. Ini adalah langkah kecil tapi penting untuk membawa potensi desa ke ranah digital.

Namun tak semua berjalan mulus. Kukerta mandiri ini mengajarkanku tentang ketahanan hati. Ada kalanya aku merasa lelah secara fisik dan mental karena semua dikerjakan sendiri. Ada pula saat aku dikira membawa dana dari kampus, sehingga warga berharap aku bisa membiayai berbagai kegiatan. Di sinilah aku belajar pentingnya komunikasi dan transparansi. Bersama warga, kami menyusun proposal, mengetuk banyak pintu, hingga akhirnya kegiatan-kegiatan tetap bisa terlaksana.

Ada pula kisah yang lebih personal. Sebuah perasaan tumbuh saat aku berinteraksi dengan salah satu warga desa. Namun aku segera menyadari: kini bukan waktunya. Pendidikan dan masa depan orang tua adalah prioritasku. Biarlah rasa itu kusimpan, sampai waktu yang lebih tepat tiba.

Kegiatan-kegiatan Kukerta ini mendapatkan sambutan hangat dari berbagai pihak: perangkat desa, RT, warga, para guru MDT, hingga kepala dusun. Meski aku datang sendiri, mereka menyambutku bak keluarga. Mereka membuatku merasa tidak benar-benar sendiri.

Untuk kampus tercinta, UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, aku titip harapan. Semoga efisiensi anggaran yang membuat Kukerta tahun ini dilakukan secara mandiri, cukup sampai di sini saja. KKN regular punya makna besar, bukan hanya bagi mahasiswa, tapi juga bagi masyarakat. Ada nilai kebersamaan, kolaborasi, dan kerja tim yang tak bisa digantikan oleh kerja individu.

Kukerta ini adalah perjalanan sunyi yang penuh makna. Di tengah keheningan, aku menemukan suara hatiku sendiri: bahwa pengabdian tidak selalu butuh sorak sorai. Cukup dengan niat yang tulus dan tindakan yang nyata.

Tirta Kencana, Agustus 2025

Ridho Ahmad
Mahasiswa MPI Semester 7
Kelompok 21, Kukerta Mandiri UIN STS Jambi


Comments

Popular posts from this blog

The Legend of Jambi Kingdom (Narrative Text)

   Image: https://www.gambarrumah.pro/2012/10/400-gambar-kartun-rumah-adat-jambi.html Once upon a time, there were five villages, Tujuh Koto, Sembilan Koto, Petajin, Muaro Sebo, and Batin Duo Belas. The villagers of those five villages lived peacefully. They helped each other. Soon, the number of villagers grew highly. The villagers thought that they needed a leader to guide them. They wanted to have a king. So, the leaders from the five villages had a meeting. They wanted to set the criteria who could be their king. "Our king should be physically strong," said the leader from Tujuh Koto. "I agree. The king should be able to protect us from the enemies, "said one leader. "Not only that. He should also be well respected by us. So, the king should be strong and have good manners," said the leader from Petajin. "Then, let’s set the criteria. I have a suggestion. The king should be strong from fire. He cannot feel the pain if we burn him," said leade...

The Legend of Jambi (Narrative Text)

                                                    Gambar: http://www.ceritadongenganak.com   Once upon a time, there lived in Sumatra Island a very beautiful girl, Putri Pinang Masak. The girl was also a very kind-hearted person. This made everyone liked her so much. Many youth and princes from other countries desire her to be his wife. Nevertheless, she refused their proposals because she had not wanted to get married yet. One day, there was a very wealthy king, the king of the east kingdom, coming to her village. He proposed to marry her. Putri Pinang Masak was afraid to refuse the king’s proposal although she actually did not love the king, the ugly-faced man, at all. She knew that the king would be very angry and there would ...

The Legend of Putri Cermin Cina: Jambi Folklore (Narrative Text)

Image:  kebuncerita.co.uk Long time ago, there was a kingdom in Jambi that was ruled by a king named Sultan Mambang Matahari. Sultan Mambang Matahari had a son named Tuan Muda Selat and a daughter named Putri Cermin Cina. The son of the king was handsome but he was such a reckless boy while the daughter is beautiful. She had a white skin like a Chinese girl and because of the skin she had then she was call “Putri Cermin Cina”. One day, a well-known merchant visited the kingdom. That merchant name was Tuan Muda Senaning. He and his crews visited the kingdom because they had some trade business. The arrival of Tuan muda Senaning was welcome kindly by the king. The king then welcomed Tuan Muda Senaning with a banquette. Together with his son and his daughter, the king asked Tuan muda Senaning to enjoy the serve. When had their serve, Tuan Muda Senaning looked Putri Cermin Cina and at his first sight, he then felt in love with Putri Muda Cina. Then, he directly expressed what he felt ...