KOMPAS-DEG- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyoroti tindakan kekerasan yang dilakukan oleh orangtua terhadap anak berusia 8 tahun ketika mengalami kesulitan belajar jarak jauh secara daring (online).
Menurut keterangan KPAI, anak mendapatkan beberapa pukulan, di antaranya menggunakan gagang sapu, saat belajar online hingga meninggal dunia.
KPAI menyatakan sangat prihatin atas perbuatan kedua orangtua korban yang justru membawa jenazah korban dengan kardus ke Lebak dan dimakamkan sendiri secara diam-diam di TPU desa Cipalabuh.
Komisioner KPAI Retno Listyarti menyatakan, dalam UU 35/2014 tentang perlindungan Anak, ada ketentuan jika pelaku kekerasan adalah orang terdekat korban, maka pelaku bisa mendapat pemberatan hukuman sebanyak 1/3.
Baca Juga: Siswi MAN Kota Tegal yang Positif Covid-19 Sempat Ikuti Belajar Tatap Muka
Dalam kasus ini, terang dia, tuntutan hukuman maksimal 15 tahun dan jika diperberat 1/3 menjadi 20 tahun.
Orangtua harus sabar, guru jangan bebani siswa
Retno mengatakan, pembelajaran jarak jauh (PJJ) memang membutuhkan bimbingan dan bantuan orangtua di rumah, sehingga menjadi tugas ayah dan ibu untuk mendampingi anak belajar.
Kesabaran orangtua, jelas dia, menjadi modal utama agar anak tetap semangat belajar dan senang belajar. "Yang utama adalah keteraturan belajar, tidak harus dituntut bisa semua mata pelajaran dan tugas untuk diselesaikan dengan benar atau sempurna," paparnya dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Selasa (15/9/2020).
Saat anak tidak bisa mengerjakan tugas dan orangtua selalu membentak apalagi memukul, anak justru akan mengalami kesulitan memahami pelajaran.
KPAI juga mengingatkan para orangtua dan para guru untuk selalu membangun komunikasi yang baik selama PJJ. Peran guru yang digantikan orangtua haruslah dilakukan dengan memperhatikan tumbuh kembang dan kemampuan anak.
Baca Juga: Strategi Hadirkan Pembelajaran Inovatif dan Menyenangkan di Rumah
" Guru juga jangan memberikan penugasan yang terlalu berat, apalagi pada anak SD kelas 1 – 3 yang mungkin saja baru belajar membaca dan belajar memahami bacaan," sarannya.
Retno juga mengimbau agar orangtua dan guru perlu memahami kondisi dan kesulitan yang dihadapi anak, karena setiap anak tidak sama.
Anak mengimitasi sikap kasar orangtua
KPAI juga mengingatkan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak juga memengaruhi perkembangan regulasi emosi dan perilaku buruk anak di kemudian hari.
Seperti anak kehilangan kemampuan untuk menenangkan dirinya, menghindari kejadian-kejadian provokatif dan stimulus yang memicu perasaan sedih dan marah, dan menahan diri dari sikap kasar yang didorong oleh emosi yang tidak terkendali.
Sikap kasar dan ketidakmampuan mengendalikan emosi yang ditunjukkan oleh orangtua, jelas Retno, berpindah kepada anak melalui interaksi. "Hal ini terjadi karena anak cenderung mengimitasi sikap orang tua yang mereka lihat.
Orang dewasa yang pernah mengalami hukuman fisik berupa kekerasan ketika masih anak-anak memiliki kemungkinan lebih besar untuk melakukan kekerasan terhadap pasangan atau anaknya sendiri, dan atau melakukan tindakan kriminal," paparnya.
Retno tak menampik bahwa orang dewasa yang telah menderita perlakuan buruk atau pelecehan di masa kecil cenderung akan melakukan kekerasan tersebut pada anak-anak mereka sendiri.
Masalah keuangan juga bisa dengan mudah dapat membuat orangtua merasa bahwa anak-anak mereka membebani mereka.
"Hal-hal ini menciptakan ketegangan, kemarahan, dan frustrasi. Dalam fase ini, orang tua rentan untuk menyalahgunakan anak-anak mereka," imbuhnya.
Untuk itu, Retno menyarankan agar orangtua tidak mengikut campurkan urusan anak dengan masalah yang sedang orangtua hadapi.
Bagaimanapun juga, lanjut dia, anak merupakan tanggung jawab orangtua yang tidak seharusnya menjadi beban bagi mereka.
"Perlu diingat bahwa masalah yang ada tidak akan selesai hanya dengan melakukan kekerasan terhadap anak. Hal tersebut justru hanya akan menambah masalah yang ada," pungkasnya.
Sumber: Kompas
Comments