Mas Menteri yang
terhormat, sebelumnya saya mohon maaf karena di tengah hiruk pikuk bencana
Corona, saya mengangkat permasalahan yang kurang relevan. Akan tetapi, saya
masih menganggap ini penting, karena menyangkut urusan dapur rumah tangga para
pendidik generasi Bangsa. Ketika berbicara urusan dapur, maka banyak variable
yang tersentuh, di antaranya faktor nutrisi keluarga, faktor saluran air,
faktor penerangan, dan faktor lain yang tidak perlu disebutkan. Intinya Mas
Mentri, mayoritas gaji tenaga didik dan kependidikan di Jambi dan mungkin di
provinsi lain, dari bulan Januari hingga saat ini belum terbayarkan.
Akar permasalahanya tidak
lain adalah kebijakan yang baru saja Mas Menteri keluarkan terkait dana BOS
(Bantuan Operasioan Sekolah), yang menciptakan sedikit kebingungan dan
kerancuan. Hal ini dikarenakan, gaji para guru dan tenaga kependidikan yang
telah memiliki NUPTK, kini dianggarkan melalui dana BOS. Sebenarnya, ketika dari awal kami mendengar
kebijakan dana BOS, kami sangat bahagia. Asumsi kami ada dua, yang pertama akan
ada kenaikan nominal gaji, dan yang ke-dua, pembayaran akan lancar karena dana
BOS berasal dari pusat dan akan langsung ditransfer ke rekening sekolah.
Namun asumsi kami saat kelihatannya
meleset, gaji teman-teman kami tidak mengalami kenaikan bahkan terancam mengalami
penurunan. Yang ke-dua, sudah hampir empat bulan tenaga honorer belum mencicipi
uang hasil keringat mereka sendiri. Padahal banyak sekali keluhan di luar sana
seperti meteran listrik terancam dicabut, PDAM terancam tak mengalir, dapur
terancam tak mengepul, karena tak ada lagi sumber dana yang dapat digunakan
hanya untuk sekedar kebutuhan sehari-hari. Saya yang setiap hari berinteraksi dengan
guru-guru baik di sekolah maupun di dunia virtual, dapat sekali merasakan apa
yang mereka rasakan.
Mas Menteri, dari hasil
survey yang saya buat di media sosial, akibat kebijakan BOS bukan hanya guru
ber-NUPTK tersendat penggajiannya, namun guru honor PEMDA dan Komite pun belum
menerima upah bulanan. Selidik punya selidik, Pemda tidak lagi mengaggarkan
gaji guru honorer, dengan dalih guru honorer telah mendapatkan pos anggaran
dari dana BOS. Permasalahannya sekarang adalah, tidak semua guru honorer PEMDA
mempunyai NUPTK.
Guru komite pun demikian,
belum menerima gaji. Karena ketika guru komite telah gajian sementara yang lain
belum menerima, maka akan timbul kecemburuan sosial. Ada juga desas desus bahwa
sebaiknya guru honorer tidak mendapatkan gaji dari iuran komite, agar harkat
dan martabat mereka lebih terangkat. Pasalnya, sempat terdengar dari beberapa
guru; ada oknum siswa dan oknum wali murid yang berkata “tuh, guru bisa beli
baju baru karna kami yang menggaji.”
Saya pun shock, sebegitu
rendahnya jabatan seorang guru honorer di sekolah negeri yang bergantung pada gaji
dari wali murid dan siswa. Di samping itu, masyarakat sudah terlanjur termakan
janji-janji kampanye kepala daerah yang selalu memberikan rayuan manis
pendidikan gratis. Akibatnya, ketika ada iuran-iuran komite, atau sumbangan
dari orang tua, yang seharusnya menurut Undang-undang adalah sah, akan selalu
mendapat cibiran, terutama dari oknum LSM nakal dan oknum wartawan
gadungan.
Oleh karena itu, Mas
Menteri harus turun tangan dan melakukan dialog dengan guru-guru honorer di
daerah. Karena, pasti mas Menteri tidak akan tega dan akan sangat meresa
bersalah ketika mengetahui ada guru yang hampir empat bulan belum menerima
gaji.
Mas Menteri, peruntukan
dana BOS yang dapat diambil maksimal 50% ini tentu akan menimbulkan kebingungan
tersendiri. Karena, hal ini akan berimbas pada pemotongan kegiatan-kegiatan Profesional
Development guru, kegiatan pembibitan dan pengembangan minat dan bakat
siswa, serta dana operasiolal sekolah. Dari Dana Bos yang terdahulu saja masih
dirasa kurang, kali ini diambil maksimal 50% untuk pembayaran gaji guru;
niscaya, kegiatan positif yang dapat menunjang peningkatan kualitas guru,
tenaga pendidik, dan SDM bangsa akan terancam mandeg.
Mas Menteri, saya tidak
sepenuhnya menyalahkan ide untuk pemangkasan tenaga honorer. Karena APBN kita
untuk gaji pegawai sangat membebani. Namun, bukankah ketika kita menutup keran
tenaga honorer; kita juga harus menutup atau memberhentikan sementara
penerimaan mahasiswa baru di kampus FKIP seluruh Indonesia? Trend di
negara kita masiswa FKIP semakin tahun semakin bertambah, namun peluang untuk
menjadi guru sangatlah sulit. Kini, mencuat isu ditengah-tengah masyarakat,
bahwa guru honorer harus dibatasi dan bahkan dipangkas.
Dari Laman
SekolahDasar.net, Mantan Mendikbud, Bapak Muhadjir Effendy melaporkan setiap
tahun LPTK (Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan) meluluskan 350 ribu
calon guru. Sementara yang dapat terserap menjadi guru adalah maksimal 150
ribu. Sehingga ada kelebihan 200 ribu calon guru yang tidak dapat terserap.
Lalu dikemanakan para lulusan professional ini? Jika menjadi tenaga honorer tak
memungkinkan lagi, lalu pekerjaan apa yang cocok untuk mereka? Sementara untuk
menjadi guru PNS tak setiap tahun dibuka peluangnya. Salahkan jika kemudian
kita mengusulkan untuk moratorium penerimaan mahasiswa FKIP?
Mas Menteri, segeralah
untuk turun gunung, untuk berkoordinasi dengan pemerintah daerah, untuk
menyelesaikan gaji para tenaga pendidik dan tenaga kependikan. Segerakanlah
transfer dana bos ke rekening sekolah, karena banyak sekali Bendahara BOS dan
Kepala Sekolah kebingungan dari mana menutup dana operasional sekolah.
Yang terpenting Mas
Menteri, segera pastikan guru-guru kita yang terhormat menerima hak mereka,
tanapa harus ditunda-tunda. Karena efek tidak bergaji hampir sama berbahayanya
dengan efek Corona. Karena ketika kepala keluarga tak lagi sanggup memenuhi
kebutuhan dapur Rumah Tangga, akan banyak efek negative yang akan timbul
karenanya.
*Penulis adalah Pendidik
Direktur Batanghari Foundation
dan Education Leadership Specialist, Alpha-I
(Asosiai Alumni Program Beasiswa Amerika-Indonesia)
Tulisan ini telah dibuat di JAMBILINK
Comments