Oleh: Dion Ginanto, Ph.D
KOMPAS.com
- Saat jam istirahat, saya berbincang dengan salah satu siswi di sekolah tempat
saya mengajar. Siswi tersebut saat ini tengah duduk di bangku kelas XI. Sambil
diiringi dengan canda dan obrolan ringan, saya bertanya kepada Ratna (bukan
nama asli) tentang rencana penghapusan Ujian Nasional.
Dalam benak saya, pasti
Ratna akan setuju seperti halnya teman-temannya yang saat ini duduk di kelas
XII. Mayoritas kelas XII iri dengan adik-adiknya yang kelak tidak akan
mengikuti Ujian Nasional.
“Saya setuju Ujian Nasional tetap diadakan Sir,”
ujarnya. Sebagai guru bahasa Inggris, Sir dan Mr adalah sapaan yang siswa
tautkan kepada saya. Dengan heran dan penuh tanda tanya, saya kembali
menanyakan kenapa
Ratna malah setuju dengan ide Ujian Nasional. Ratnapun
menjawab, kalau boleh memilih, ia lebih memilih beban belajar siswa dikurangi
ketimbang Ujian Nasional dihapuskan.
Sensasional "Merdeka UN"
Ratna
bahkan membandingkan negara-negara yang siswanya hanya dibebankan enam sampai
tujuh mata pelajaran satu minggu. Sedangkan dia dan kawan-kawan harus berjibaku
dengan mempelajarai 14 mata pelajaran setiap pekan.
“Kami bahkan kehilangan
waktu untuk sekedar bermain dan bersosialisasi dengan teman-teman, apalagi jika
dalam sehari ada empat guru yang memberi PR. Maka tamatlah pula waktu kami
untuk bercengkrama dengan keluarga.”
Saya terdiam, sebenarnya dari dulu saya
merasa prihatin dengan banyaknya mata pelajaran yang harus siswa terima. Namun,
baru kali ini saya mendegar langsung curhatan dari seorang siswa, yang tidak
sengaja terungkap dari topik Ujian Nasional.
Alih-alih merayakan euphoria bahwa
ia akan terbebas dari Ujian Nasional yang sensasional, Ratna lebih memilih
bertahan karna ingin terbebas dari beban yang lebih berat yakni beban mata
pelajaran yang terkesan tak rasional.
14 mata pelajaran
Setelah mengakhiri
perbincingan ringan namun serius, saya mengintip jadwal siswa di meja piket
guru.
Saya tambah terkejut, ada beberapa kelas yang karena kendala pembagian
jam mengajar, harus mempelajarai 5-6 mata pelajaran dalam satu hari.
Idealnya
jika dalam satu hari (8 jam) maka, dengan asumsi satu mata pelajaran dua jam,
maka siswa akan belajar 4 mata pelajaran dalam satu hari. Namun, rupanya ada
beberapa mata pelajaran yang harus di split menjadi satu jam saja, sehingga
mereka akan belajar 5-6 pelajaran dalam satu hari.
“Jadi jangan salahkan kami
Sir, kalau kami bahagia sekali kalau ada jam kosong. Karena ini adalah
satu-satunya cara bagi kami untuk mencuri waktu bermain dan berbahagia dengan
teman-teman kami.”
Kalimat terakhir yang Ratna sampaikan sejenak sebelum
berpisah. Saya pun mengamini. Pada saat saya dulu sekolah yang tidak sebanyak
saat ini saja, kami sangat menikmati jam kosong, apalagi saat ini siswa dengan
14 mata pelajaran.
Bahagia "jam kosong"
Tidak heran jika Indonesia
duduk di peringkat pertama pada siswa yang paling Bahagia di dunia (Laporan
PISA 2012). Akan tetapi PISA 2012 mengungkap bahwa kebahagiaan siswa tidak
diiringi dengan hasil tinggi pada survei internasional di bidang kemampuan
baca, sains, dan metematika.
Pranoto (2013) mengungkapkan bahwa siswa di
Indonesia masih lemah dalam hal analisis dan berfikir tingkat tinggi.
Siswa
cenderung diajarkan menghafal. Akan tetapi meski dibebaani dengan menghafal,
siswa cenderung bahagia karena salah satunya dipengaruhi oleh seringnya guru
yang terlambat atau tidak hadir di sekolah. Laporan dari ACDP Indonesian (2014)
yang melakukan penelitian di hampir seluruh provinsi di Indonesia, menemukan
bahwa tingkat ketidakhadiran guru mencapai 10 persen.
Bukan kebahagiaan yang
diiringi dengan prestasi tinggi seperti halnya siswa di Finlandia. Atau bukan
kebahagiaan karena merayakaan kemerdekaan belajar bersama teman dan guru di
sekolah. Alih-alih bahagia yang berbanding positif dengan prestasi, siswa di
Indonesia bahagia karena merayakan seringnya jam kosong di sekolah.
Peminatan,
kejar jam mengajar Jika target utama Pak Nadiem saat ini adalah untuk
memerdekakan siswa dan guru dalam proses belajar mengajar; maka Pak Nadiem dan
jajarannya nampaknya harus mulai memikirkan Pekerjaan Rumah yang diutarakan
oleh Ratna di sekolah kami. Pemerintah juga harus segera mengurangi beban mata pelajaran
yang berjumlah 14 itu.
Lalu mungkin ada pertanyaan, kalau begitu pasti ada mata
pelajaran yang akan dihapus? Bagaimana dengan nasib gurunya? Sebenarnya belajar
dengan jumlah jam tinggi ini salah satunya adalah untuk menjawab persyaratan
guru harus mengajar 24 jam seminggu. Karena banyak guru yang kekurangan jam
mengajar maka dibuatlah kelas peminatan; sebagai contoh siswa harus belajar
Matematika Wajib dan Matematika Peminatan; Bahasa Inggris Wajib dan Bahasa
Inggris Peminatan; Ekonomi dan Prakarya dan Kewirausahaan (PKWU).
Jika
pemerintah membolehkan sebenarnya kekurangan jam mengajar, dapat saja diberikan
solusi dengan satu mata pelajaran diampu oleh dua guru. Misalnya Bahasa Inggris
mempunyai dua guru, sehingga di kelas siswa akan lebih mudah belajar, karena
akan ada dua instruktur yang membantu dan melayani mereka ketika mereka
membutuhkan bantuan.
Kelas Ekonomi dan Pendidikan Kewirausahaan juga bisa
bergabung karena dua mata pelajaran itu sangat terkait dan bersinggungan. Ide
satu pelajaran diampu dua guru tentu dapat menyelesaikan masalah guru yang
kekurangan jam mengajar. Hapus UN dan meringankan beban belajar.
Tentu hal ini juga menjadi alternative solusi bagi sekolah
yang mempunyai rombongan belajar (rombel) kecil, gurunya tak perlu susah payah
melamar ke sekolah lain untuk sekedar memenuhi tuntutan sertifikasi yang harus
mengajar 24 jam satu minggu. Ide ini berbeda dengan ide Mantan Mendikbud
Muhadjir Effendy yang merekomendasikan satu guru mampu mengajar dua mata
pelajaran yang berbeda. Ide Pak Muhadjir sempat mendapat penolakan, karena akan
membebani guru yang tidak menguasai mata pelajaran lain.
Akan tetapi jika satu
mata pelajaran diampu oleh dua guru, maka guru tersebut tidak akan merasa
terbebani, namun sebaliknya terkesan mendapat keringanan. Satu pelajaran dua
guru juga akan meningkatkan kolaborasi antara guru semata pelajaran atau guru
serumpun. Saya yakin dan percaya, guru-guru di Indonesia akan setuju dengan ide
ini.
Karena sedikit jam mengajar dapat berpengaruh pada kreatifitas ide dan
inovasi guru dalam mengajar. Sehingga nantinya guru tak lagi melulu mengajar
untuk memenuhi tuntutan kurikulum, melainkan guru dapat lebih merdeka dalam
memupuk dan menemukan bakat terpendam siswa kemudian dengan tangan dinginnya,
mengarahkan pada aktifitas yang tepat. Saya selalu mendukung ide dan gagasan
progresif dari Bapak Nadiem, semoga Merdeka Belajar benar-benar dirasakan
hingga ke pelosok tanah air dengan menghapus UN dan mengurangi beban mata
pelajaran siswa.
Penulis: Dion Ginanto, Ph.D, Pemerhati Pendidikan dan Guru
SMAN 1 Batang Hari, Jambi.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "100 Hari Nadiem Makarim, Merdeka UN tapi Belum Merdeka Beban Belajar", https://edukasi.kompas.com/read/2020/01/31/18363331/100-hari-nadiem-makarim-merdeka-un-tapi-belum-merdeka-beban-belajar?page=all.
Editor : Yohanes Enggar Harususilo
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "100 Hari Nadiem Makarim, Merdeka UN tapi Belum Merdeka Beban Belajar", https://edukasi.kompas.com/read/2020/01/31/18363331/100-hari-nadiem-makarim-merdeka-un-tapi-belum-merdeka-beban-belajar?page=all.
Editor : Yohanes Enggar Harususilo
Comments