Di bulan ramadhan lalu, seluruh media memberikan berita yang mencengangkan. Gembong teroris asal Malaysia yang telah diburu pihak kepolisian Republik Indonesia akhirnya menghembuskan nafas terakhir di Solo; dalam baku tembak dengan aparat kepolisian Indonesia. Mayoritas bangsa Indonesia saat itu sangat bersuka cita atas terbunuhnya sosok yang pernah mengotaki beberapa rangkaian aksi bom bunuh diri di Indonesia. Belum lagi ditambah dengan beberapa hari lalu, Syaifuddin Zuhri dan M. Shahrir yang diduga sebagai komplotan Nurdin M. Top juga tewas dalam aksi penggerebekan Densus 88 di Ciputat. Namun demikian, rakyat Indonesia tidak boleh bangga dan puas begitu saja dengan pihak kepolisian atas prestasinya dalam membunuh teroris nomor wahid di Indonesia itu; karena meskipun Nurdin M. Top, dkk telah tewas, namun cepat atau lambat putra-putri penerusnya akan selalu ada.
Oleh karenanya, sebelum embrio teroris kembali lahir maka salah satu langkah efektif adalah dengan membunuh keturunannya di bangku sekolah. Apa maksudnya? Apakah kita benar-benar membunuh putra-putri kandung Nurdin M. Top yang saat ini sedang duduk di bangku sekolah? Jawabannya tidak.
Pola pikir teroris akan selalu muncul pada jiwa-jiwa muda, yang pada kodratnya pemuda akan selalu mencoba sesuatu hal yang baru dalam hidupnya. Ia akan terus mencoba mencari jawaban atas segala pertanyaan yang muncul di pikirannya. Sebelum mereka terdoktrin dengan paradigma berpikir yang salah tentang jihad Islam, maka bangku sekolah adalah sarana yang sangat ampuh dalam membenteginya dari pengaruh fikroh sesat.
Mengapa di bangku sekolah? Sekolah adalah pemberi warna dalam otak siswa-siswi yang nantinya akan menjadi generasi penerus bangsa. Di bangku sekolah mereka akan terwarnai dengan berbagai macam pengetahuan baru yang menjadi kunci dalam menjadi apakah ia kelak setelah dewasa. Teroris di Indonesia muncul karena Nurdin M. Top dkk, berhasil memberi doktrin pada pemuda yang tidak mempunyai benteng pola pikir tentang arti jihad sebenarnya.
Di Indonesia, jam pelajaran agama Islam sangatlah minim jika dibandingkan dengan pelajaran-pelajaran duniawi semisal Matematika, Kimia, Bahasa Inggris dll. Bisakah kita membayangkan, ilmu yang bisa menjadi bekal dalam bergaul, berakhlak dan bertingkah laku serta beribadah dalam kehidupan sehari-hari hanya diberikan alokasi waktu 2 jam (itu pun tidak 120 menit). Wajarlah ketika mereka bertemu dengan beberapa aliran pemikiran yang mengklaim pejuang Islam maka mereka langsung menelan mentah-mentah intisari ajaran yang mereka doktrinkan kepada sejumlah pelaku pengeboman yang notabene pemuda.
Mukhtar Latif menuliskan dalam makalah seminarnya, bahwa pendidikan agama Islam saat ini mengalami krisis dalam pelaksanaannya. Proses pendidikan Agama Islam yang berlangsung selama ini telah menggeser pendidikan hati nurani, karena diarahkan untuk mencapai keunggulan materi, kekayaan, kedudukan dan kesenangan duniawi semata. Hubungan pendidik dan peserta didik hampir menjadi hubungan bisnis. Pendidikan di sekolah hanya melaksanakan sebatas apa yang tertera pada kurikulum yang lebih banyak menekankan transfer of knowledge dari pendidik kepada peserta didik. Padahal yang sebenarnya adalah pendidikan Islam tidak boleh berorientasi pada pencapaian ilmu untuk ilmu semata, tapi harus didasari oleh adanya semangat moral (akhlak yang soleh).
Pendidikan Agama Islam (PAI) yang diharapakan menjadi ujung tombak dalam membenahi akhlak generasi muda saat ini kurang begitu manjur untuk dijadikan sebagai tumpuan. Mampukah seorang peserta didik yang nantinya akan menjadi pemimpin negeri ini hanya dibekali dengan ilmu agama Islam di sekolah umum yang hanya berkapasitas 5 % dari keseluruhan mata di pelajaran. Apakah balance, dan apakah kira-kira cukup 5 % alokasi waktu di sekolah untuk membenahi dan membekali generasi muda dengan ilmu agama, sementara di sisi lain mereka menerima 95 % lainya ilmu-ilmu duniawi. Bukankah Ilmu Dunia dan Ilmu Akhirat harus seimbang?
Oleh karena itu, dibutuhkan langkah strategis dalam upaya membunuh putra Nurdin M. Top di bangku sekolah. Atau jika perlu sedapat mungkin untuk mencegahnya menjadi embrio teroris. Ada beberapa langkah strategis yang dapat saya sumbangkan dalam tulisan kali ini:
1. Reformasi Sistem Pendidikan Agama Islam (PAI) di Sekolah
Desain Pendidikan Islam nantinya diharapakan dapat menciptakan output yang unggul dan berkualitas, oleh karenanya sistem belajar yang yang juga berkualitas tinggi harus dapat diciptakan. Reformasi pembelajaran peserta didik bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan pembelajaran, khususnya untuk memajukan atau menghasilakan motivasi dan konsep diri peserta didik. Peserta didik hendaknya harus juga dibekali dengan materi keislaman yang contextual/thematic. Materi-materi yang diajarkan haruslah yang dapat mereka jumpai sehari-hari, sehingga diharapkan dapat langsung diterapkan. Salah satu contohnya: materi tentang jihad Islam, mereka harus bisa mebedakan jihad dalam artian perang (berhadapan dengan musuh): melakukan penyerangan menggunakan bom, bisa dikatakan sebagai jihad. Namun, jika meledakkan bom pada seseorang yang tidak mempunyai senjata dan dalam keadaan tidak siap, serta kita tidak mengenal siapa yang akan dikenakan bom, maka itu bukan dinamakan jihad.
Selain itu reformasi bidang pendidikan agama Islam diharapkan seperti dalam kutipan makalah Prof. Dr. Mukhtar Latif, yaitu berusaha merubah paradigma pembelajaran konvensional menuju reformasi pembelajaran :
Pembelajaran Konvensional:
• Terpusat pada pendidik
• Pengajaran diktatik
• Mengarah pada satu subjek
• Kerja Individual
• Pendidik sebagai sumber
• Kemampuan mengelompokkan
• Penilaian berdasarkan pengetahuan dan kemampuan tersendiri
• Peserta didik mempraktekkan kemampuan yang biasa
Pembelajaran Konvesional seperti di atas, haruslah dirubah paradigmanya menjadi:
• Terpusat pada peserta didik
• Pengajaran interaktif
• Mengarah pada multidisipliner
• Kerja kelompok
• Pendidik sebagai fasilitator
• Kelompok heterogen
• Penilaian berdsarkan kinerja
• Peserta didik mempraktekkan kempuan yang memadai.
Setelah adanya perubahan paradigma pola belajar mengajar PAI, maka langkah selanjutnya adalah dengan memberikan alokasi waktu tambahan, dari 5 % diharapkan dapat meningkat minimal menjadi 15 % dari total keseluruhan mata pelajaran. Jika perlu, materi Agama Islam, dapat dimasukkan sebagai salah satu mata pelajaran yang di UAN kan.
2. Memberikan Pemahaman tentang Makna Pluralisme di Indonesia
Fanatik yang berlebihan pada suatu keyakinan tertentu dapat mengakibatkan efek yang sangat berbahaya, salah satunya adalah adanya aksi terror bom yang marak di Indonesia. Ada pemahaman konsep yang salah pada beberapa oknum pelaku aksi pengeboman, mereka mengira bahwa hanya keyakinan yang ada pada diri merekalah yang benar. Padahal, Indonesia adalah Negara majemuk. Negara yang di dalamya terdapat ribuan suku, enam agama yang diakui pemerintah, sekte keyakinan yang saat ini mulai menjamur, belum lagi aliran keagamaan yang selalu bermunculan. Setiap suku, penganut agama, penganut kepercayaan, pasti meyakini bahwa merekalah yang benar, namun meskipun mereka meyakini kebenaran apa yang diyakininya; hal ini haruslah diiringi dengan penghormatan terhadap orang lain yang mempuyai keyakinan berbeda.
Pemahaman tentang toleransi pada orang lain inilah yang kemudian disebut pemahaman terhadap pluralisme yang sebenarnya. Selama ini ada pemahaman yang salah pentang pluralisme, ada yang melencengkan bahwa pluralisme adalah pemahaman bahwa semua agama di dunia ini adalah sama; kalau demikian berarti kita boleh beragama lebih dari satu. Pluralisme yang sebenarnya adalah pluralitas yang diartikan sebagai kenyataan bahwa masyarakat memiliki agama yang berbeda-beda dan karenanya harus saling menghormati dan berdampingan dengan baik. Pemahaman yang benar tentang pluralisme harus dapat ditanamkan pada peserta didik agar mereka dapat mempunyai konsep yang kuat, dan tujuan akhirnya adalah untuk dapat menciptakan kehidupan yang rukun, aman, damai dan sejahtera.
3. Memberikan Pelatihan Kepemimpinan dan life skill pada Peserta Didik
Latihan kepemimpinan dan atau pelatihan life skill kepada peserta didik saat ini telah jarang dilakukan di sekolah-sekolah. Kebanyakan sekolah saat ini disibukkan dengan les tambahan untuk mempersiapakan agar anak didiknya mampu mengerjakan soal-soal UAN. Al-hasil, output pendidikan saat ini hanyalah melahirkan siswa-siswi yang mahir membahas soal dengan tepat dan cepat, bukan peserta didik yang mempunyai keterampilan life skill dan kepemimpinan. Tidak heran, jika setelah lulus sekolah mereka enggan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi dan lebih memilih berprofesi sebagai pengangguran. Ketiaka generasi muda tidak mempunyai kecakapan hidup dan sifat kepemimpinan yang baik, maka mereka akan mudah terkena doktrin-doktrin sesat, termasuk di dalamnya menjadi pelaku pengeboman. Pada umumnya pengangguran identik dengan kekerasan. Oleh karena itu, kegiatan semisal OSIS (ROHIS, PMR, KIR, PRAMUKA, PASKIBRAKA, OLAH RAGA, BELA DIRI,dll), LIFE SKILL (Seminar/work shop kewirausahaan, Koperasi siswa, Kantin kejujuran), harus sesegera mungkin diaktifkan kembali.
4. Menghidupkan Ghirah (semangat) dan fungsi Guru BK
Bimbingan konseling bukan diartikan sebagai guru yang bertugas memberikan hukuman pada siswa yang bermasalah. Atau sering diartikan sebagai guru yang jarang berangkat ke sekolah karena tidak ada jadwal mengajar di kelas. Atau sering diartikan sebagai guru yang super killer, kejam dan tidak berperikemanusiaan. Sehingga siswa terkesan takut kepada guru BK, pada akhirnya tugas dan fungsi sebenarnya guru BK yang memberikan bimbingan dan konseling pada siswa menjadi berubah.
Guru BK ke depan harus dapat difungsikan sebagai teman curhat bagi siswa, orang tua bagi siswa, kakak bagi siswa, dan sekaligus teman dekat siswa. Oleh karena itu, semua permasalahan pribadi siswa dapat dipecahkan di sekolah dan tidak terbawa di lingkungan bermasyarakat.
Semoga dengan empat langkah efektif di atas, kita dapat benar-benar memberantas terorisme sampai ke akar-akarnya. Empat langkah di atas dapat dijadikan sebagai sumbangsih pemikiran dalam upaya membunuh putra-putri pelaku terror di bangku sekolah. Nah, bagaimana? Apakah anda tertantang untuk melakukan aksi tersebut? Selamat mencoba dan selamat mempraktekkan.
*) Penulis adalah Guru Bahasa Inggris di SMA N 1 BATANG HARI dan Dosen ABA Nurdin Hamzah Jambi
Oleh karenanya, sebelum embrio teroris kembali lahir maka salah satu langkah efektif adalah dengan membunuh keturunannya di bangku sekolah. Apa maksudnya? Apakah kita benar-benar membunuh putra-putri kandung Nurdin M. Top yang saat ini sedang duduk di bangku sekolah? Jawabannya tidak.
Pola pikir teroris akan selalu muncul pada jiwa-jiwa muda, yang pada kodratnya pemuda akan selalu mencoba sesuatu hal yang baru dalam hidupnya. Ia akan terus mencoba mencari jawaban atas segala pertanyaan yang muncul di pikirannya. Sebelum mereka terdoktrin dengan paradigma berpikir yang salah tentang jihad Islam, maka bangku sekolah adalah sarana yang sangat ampuh dalam membenteginya dari pengaruh fikroh sesat.
Mengapa di bangku sekolah? Sekolah adalah pemberi warna dalam otak siswa-siswi yang nantinya akan menjadi generasi penerus bangsa. Di bangku sekolah mereka akan terwarnai dengan berbagai macam pengetahuan baru yang menjadi kunci dalam menjadi apakah ia kelak setelah dewasa. Teroris di Indonesia muncul karena Nurdin M. Top dkk, berhasil memberi doktrin pada pemuda yang tidak mempunyai benteng pola pikir tentang arti jihad sebenarnya.
Di Indonesia, jam pelajaran agama Islam sangatlah minim jika dibandingkan dengan pelajaran-pelajaran duniawi semisal Matematika, Kimia, Bahasa Inggris dll. Bisakah kita membayangkan, ilmu yang bisa menjadi bekal dalam bergaul, berakhlak dan bertingkah laku serta beribadah dalam kehidupan sehari-hari hanya diberikan alokasi waktu 2 jam (itu pun tidak 120 menit). Wajarlah ketika mereka bertemu dengan beberapa aliran pemikiran yang mengklaim pejuang Islam maka mereka langsung menelan mentah-mentah intisari ajaran yang mereka doktrinkan kepada sejumlah pelaku pengeboman yang notabene pemuda.
Mukhtar Latif menuliskan dalam makalah seminarnya, bahwa pendidikan agama Islam saat ini mengalami krisis dalam pelaksanaannya. Proses pendidikan Agama Islam yang berlangsung selama ini telah menggeser pendidikan hati nurani, karena diarahkan untuk mencapai keunggulan materi, kekayaan, kedudukan dan kesenangan duniawi semata. Hubungan pendidik dan peserta didik hampir menjadi hubungan bisnis. Pendidikan di sekolah hanya melaksanakan sebatas apa yang tertera pada kurikulum yang lebih banyak menekankan transfer of knowledge dari pendidik kepada peserta didik. Padahal yang sebenarnya adalah pendidikan Islam tidak boleh berorientasi pada pencapaian ilmu untuk ilmu semata, tapi harus didasari oleh adanya semangat moral (akhlak yang soleh).
Pendidikan Agama Islam (PAI) yang diharapakan menjadi ujung tombak dalam membenahi akhlak generasi muda saat ini kurang begitu manjur untuk dijadikan sebagai tumpuan. Mampukah seorang peserta didik yang nantinya akan menjadi pemimpin negeri ini hanya dibekali dengan ilmu agama Islam di sekolah umum yang hanya berkapasitas 5 % dari keseluruhan mata di pelajaran. Apakah balance, dan apakah kira-kira cukup 5 % alokasi waktu di sekolah untuk membenahi dan membekali generasi muda dengan ilmu agama, sementara di sisi lain mereka menerima 95 % lainya ilmu-ilmu duniawi. Bukankah Ilmu Dunia dan Ilmu Akhirat harus seimbang?
Oleh karena itu, dibutuhkan langkah strategis dalam upaya membunuh putra Nurdin M. Top di bangku sekolah. Atau jika perlu sedapat mungkin untuk mencegahnya menjadi embrio teroris. Ada beberapa langkah strategis yang dapat saya sumbangkan dalam tulisan kali ini:
1. Reformasi Sistem Pendidikan Agama Islam (PAI) di Sekolah
Desain Pendidikan Islam nantinya diharapakan dapat menciptakan output yang unggul dan berkualitas, oleh karenanya sistem belajar yang yang juga berkualitas tinggi harus dapat diciptakan. Reformasi pembelajaran peserta didik bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan pembelajaran, khususnya untuk memajukan atau menghasilakan motivasi dan konsep diri peserta didik. Peserta didik hendaknya harus juga dibekali dengan materi keislaman yang contextual/thematic. Materi-materi yang diajarkan haruslah yang dapat mereka jumpai sehari-hari, sehingga diharapkan dapat langsung diterapkan. Salah satu contohnya: materi tentang jihad Islam, mereka harus bisa mebedakan jihad dalam artian perang (berhadapan dengan musuh): melakukan penyerangan menggunakan bom, bisa dikatakan sebagai jihad. Namun, jika meledakkan bom pada seseorang yang tidak mempunyai senjata dan dalam keadaan tidak siap, serta kita tidak mengenal siapa yang akan dikenakan bom, maka itu bukan dinamakan jihad.
Selain itu reformasi bidang pendidikan agama Islam diharapkan seperti dalam kutipan makalah Prof. Dr. Mukhtar Latif, yaitu berusaha merubah paradigma pembelajaran konvensional menuju reformasi pembelajaran :
Pembelajaran Konvensional:
• Terpusat pada pendidik
• Pengajaran diktatik
• Mengarah pada satu subjek
• Kerja Individual
• Pendidik sebagai sumber
• Kemampuan mengelompokkan
• Penilaian berdasarkan pengetahuan dan kemampuan tersendiri
• Peserta didik mempraktekkan kemampuan yang biasa
Pembelajaran Konvesional seperti di atas, haruslah dirubah paradigmanya menjadi:
• Terpusat pada peserta didik
• Pengajaran interaktif
• Mengarah pada multidisipliner
• Kerja kelompok
• Pendidik sebagai fasilitator
• Kelompok heterogen
• Penilaian berdsarkan kinerja
• Peserta didik mempraktekkan kempuan yang memadai.
Setelah adanya perubahan paradigma pola belajar mengajar PAI, maka langkah selanjutnya adalah dengan memberikan alokasi waktu tambahan, dari 5 % diharapkan dapat meningkat minimal menjadi 15 % dari total keseluruhan mata pelajaran. Jika perlu, materi Agama Islam, dapat dimasukkan sebagai salah satu mata pelajaran yang di UAN kan.
2. Memberikan Pemahaman tentang Makna Pluralisme di Indonesia
Fanatik yang berlebihan pada suatu keyakinan tertentu dapat mengakibatkan efek yang sangat berbahaya, salah satunya adalah adanya aksi terror bom yang marak di Indonesia. Ada pemahaman konsep yang salah pada beberapa oknum pelaku aksi pengeboman, mereka mengira bahwa hanya keyakinan yang ada pada diri merekalah yang benar. Padahal, Indonesia adalah Negara majemuk. Negara yang di dalamya terdapat ribuan suku, enam agama yang diakui pemerintah, sekte keyakinan yang saat ini mulai menjamur, belum lagi aliran keagamaan yang selalu bermunculan. Setiap suku, penganut agama, penganut kepercayaan, pasti meyakini bahwa merekalah yang benar, namun meskipun mereka meyakini kebenaran apa yang diyakininya; hal ini haruslah diiringi dengan penghormatan terhadap orang lain yang mempuyai keyakinan berbeda.
Pemahaman tentang toleransi pada orang lain inilah yang kemudian disebut pemahaman terhadap pluralisme yang sebenarnya. Selama ini ada pemahaman yang salah pentang pluralisme, ada yang melencengkan bahwa pluralisme adalah pemahaman bahwa semua agama di dunia ini adalah sama; kalau demikian berarti kita boleh beragama lebih dari satu. Pluralisme yang sebenarnya adalah pluralitas yang diartikan sebagai kenyataan bahwa masyarakat memiliki agama yang berbeda-beda dan karenanya harus saling menghormati dan berdampingan dengan baik. Pemahaman yang benar tentang pluralisme harus dapat ditanamkan pada peserta didik agar mereka dapat mempunyai konsep yang kuat, dan tujuan akhirnya adalah untuk dapat menciptakan kehidupan yang rukun, aman, damai dan sejahtera.
3. Memberikan Pelatihan Kepemimpinan dan life skill pada Peserta Didik
Latihan kepemimpinan dan atau pelatihan life skill kepada peserta didik saat ini telah jarang dilakukan di sekolah-sekolah. Kebanyakan sekolah saat ini disibukkan dengan les tambahan untuk mempersiapakan agar anak didiknya mampu mengerjakan soal-soal UAN. Al-hasil, output pendidikan saat ini hanyalah melahirkan siswa-siswi yang mahir membahas soal dengan tepat dan cepat, bukan peserta didik yang mempunyai keterampilan life skill dan kepemimpinan. Tidak heran, jika setelah lulus sekolah mereka enggan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi dan lebih memilih berprofesi sebagai pengangguran. Ketiaka generasi muda tidak mempunyai kecakapan hidup dan sifat kepemimpinan yang baik, maka mereka akan mudah terkena doktrin-doktrin sesat, termasuk di dalamnya menjadi pelaku pengeboman. Pada umumnya pengangguran identik dengan kekerasan. Oleh karena itu, kegiatan semisal OSIS (ROHIS, PMR, KIR, PRAMUKA, PASKIBRAKA, OLAH RAGA, BELA DIRI,dll), LIFE SKILL (Seminar/work shop kewirausahaan, Koperasi siswa, Kantin kejujuran), harus sesegera mungkin diaktifkan kembali.
4. Menghidupkan Ghirah (semangat) dan fungsi Guru BK
Bimbingan konseling bukan diartikan sebagai guru yang bertugas memberikan hukuman pada siswa yang bermasalah. Atau sering diartikan sebagai guru yang jarang berangkat ke sekolah karena tidak ada jadwal mengajar di kelas. Atau sering diartikan sebagai guru yang super killer, kejam dan tidak berperikemanusiaan. Sehingga siswa terkesan takut kepada guru BK, pada akhirnya tugas dan fungsi sebenarnya guru BK yang memberikan bimbingan dan konseling pada siswa menjadi berubah.
Guru BK ke depan harus dapat difungsikan sebagai teman curhat bagi siswa, orang tua bagi siswa, kakak bagi siswa, dan sekaligus teman dekat siswa. Oleh karena itu, semua permasalahan pribadi siswa dapat dipecahkan di sekolah dan tidak terbawa di lingkungan bermasyarakat.
Semoga dengan empat langkah efektif di atas, kita dapat benar-benar memberantas terorisme sampai ke akar-akarnya. Empat langkah di atas dapat dijadikan sebagai sumbangsih pemikiran dalam upaya membunuh putra-putri pelaku terror di bangku sekolah. Nah, bagaimana? Apakah anda tertantang untuk melakukan aksi tersebut? Selamat mencoba dan selamat mempraktekkan.
*) Penulis adalah Guru Bahasa Inggris di SMA N 1 BATANG HARI dan Dosen ABA Nurdin Hamzah Jambi
Comments