“Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat” (UU No 20 Tahun 2003, Pasal 34 ayat 1).
Demikian bunyi salah satu pasal pada Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. Jika merujuk pada aturan di atas maka setiap warga negara berhak untuk bersekolah, dan menentukan sekolah pilihannya, baik itu negeri atau swasta. Tugas negara kemudian berperan untuk memastikan bahwa seluruh warganya dapat memperoleh pendidikan sesuai pilihannya.
Akan tetapi, kehadiran negara (pada kasus yang akhir-akhir ini menjadi perhatian dunia pendidikan di Jambi dan bahkan nasional), belum dapat dirasakan. Peserta didik yang jumlahnya tidak sedikit, kini harus menanggung sakit, akibat ulah pemerintah yang tidak gesit dan terkesan berkelit.
Masalah pemindahan siswa ke swasta ini sekarang semakin rumit, membuat orang tua menjerit, dan peserta didik yang morat-marit. Meski demo berjilid-jilid, namun pemerintah daerah terkesat berbelit-belit. 120 bukanlah jumlah yang sedikit, pemerintah harus hadir dan memberi solusi kongkrit. Mediapun tak boleh memberi stigma negatif, pada peserta didik yang masih naif.
Siswa Jalur Gelap?
Pantaskah kemudian peserta didik yang orangtuanya dengan penuh harap memperoleh pendidikan murah pada sekolah milik pemerintah, malah kemudian dicap sebagai siswa gelap? Peserta didik mana yang tidak akan trauma bila disematkan dengan prediket itu?
Bukankah mereka telah mendaftar secara resmi, melalui proses resmi? Bukankah mereka lebih berhak bersekolah pada satuan pendidikan yang dekat rumah? Lalu mengapa setelah mereka dinyatakan diterima, dan telah mengikuti kegiatan belajar mengajar selama satu semester kini secara membabi buta dilarang bersekolah dan dipaksa untuk mencari sekolah di luar sana?
Orang tua mana yang kemudian tidak tersayat hatinya, melihat buah hatinya terombang-ambing dan terancam putus sekolah karena tidak diakui pemerintah? Siapa yang tak akan terusik, setelah membayar uang di muka untuk uang seragam dan kebutuhan lainnya, namun tak mendapat nomor dapodik?
Demo Berjilid-Jilid
Orang tua dan siswa mulai geram. Mengadu ke sana kemari, namun tidak mendapat solusi. Akhirnya mereka beranikan diri untuk berunjuk rasa di hadapan pemimpin negeri. Berjilid-jilid protes sudah dilalui, namun belum juga mendapatkan jalan keluar yang pasti.
"Aturan harus ditegakkan dan tidak boleh dilanggar oleh pemerintah. Jadi bagi anak-anak yang namanya tidak tercatat di dapodik, dengan berat hati harus dipindahkan ke swasta," (Sudirman, Sekda Provinsi Jambi, dikutip dari kompas.com). Sangat disayangkan sebenarnya, pemerintah daerah sebagai perpanjangan negara mengeluarkan statemen yang kurang solutif dan malah membuat orangtua semakin resah.
Tujuan utama orangtua menyekolahkan anak ke sekolah negeri adalah kerana jarak yang dekat dan biaya yang relatif murah. Namun dalam persolan ini, pemerintah provinsi Jambi terkesan menutup diri untuk memberikan kompensasi.
Dikutip dari kompas.com, pemda Jambi belum berupaya memberikan beasiswa atau yang sejenisnya: “Sayangnya, pemerintah belum memiliki solusi terhadap 120 anak itu. Menurut Sudirman, anak-anak harus pindah ke swasta dengan biaya ditanggung orangtua siswa masing-masing” (kompas.com).
Lalu Bagaimana?
Gubernur dan Wakil Gubernur Jambi sebagi pemimpin tertinggi Jambi harus mengambil alih permasalahan ini. Bukankah learning loss akibat mismanagement ini sama berbahayanya dengan 120 siswa terjangkit COVID-19? Peserta didik yang terkena Covid bisa disembuhkan, namun trauma akibat dicap sebagai peserta didik illegal dan gelap tentu akan susah diobati.
Bukankah setiap warga negara berhak untuk sekolah, dan menentukan sekolah pilihannya, baik itu negeri atau swasta? Jika kemudian karena kelalaian aparatur sipil negara sehingga mengakibatkan 120 peserta didik terancam tidak dapat menuntut ilmu di sekolah negeri; maka pemerintah harus memberikan jalan keluar. Bisa seperti memberikan kompensasi berupa beasiswa kepada peserta didik untuk mengenyam pendidikan ke sekolah swasta yang berkualitas. Atau tetap bersekolah ke sekolah negeri dan diakui pada data dapodik.
Intinya pemerintah harus bertanggung jawab dengan mengambil langkah kongkrit, bukan sekedar himbauan kepada orangtua untuk memindahkan ke sekolah swasta belaka. Saya yakin pemerintah mampu untuk memberikan anggaran beasiswa itu (jika akhirnya dipindah ke swasta) baik dengan diskresi anggaran atau menggandeng pihak swasta dan atau philanthropy pendidikan.
Jika berpedoman pada UU Sisdiknas Pasal 46 Ayat 1: “Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat.” Maka pemerintah daerah yang menaungi Sekolah Menengah Atas di Jambi harus berada di garda terdepan memberikan kompensasi pendidikan.
Memecat Kepala Sekolah, Cukupkah?
Pemberhentian kepala sekolah tidaklah cukup. Audit yang ketat terhadap proses penerimaan peserta didik baru (PPDB) di SMA 8 Kota Jambi dan sekolah-sekolah lain perlu dilakukan. Karena barangkali, terdapat praktek yang serupa dilaksanakan pada sekolah lainnya.
Selamat Ulang tahun Jambi! Kasus SMA 8 ini terkesan menjadi Kado pahit bagi Haris-Sani. Namun demikian, semoga Wo Haris yang telah berpengalaman di dunia birokrasi, dan Kyai Sani yang telah bertahun tahun menjadi akademisi akan mampu berkolaborasi dalam menangani kasus ini. Jangan sampai predikat Jambi sebagai Provinsi terbahagia nomor 4 se-Indonesia (BPS, 2021) ternodai.
Dion Ginanto
Pengamat Pendidikan dan Dosen UIN STS Jambi
Comments