"Macet, tidak bisa lewat, kami putar balik arah lagi, kasihan melihat anak sekolah jadi tidak bisa ikut pelajaran sekolah hari ini karena terjebak macet panjang….” (dikutip dari inilahjambi.com)
Begitulah salah satu ungkapan tokoh adat yang diwawancara salah satu awak media lokal di Jambi. Kemacetan yang selama ini terjadi di malam hari kini sudah berganti sore, siang, hingga pagi. Semua pegawai swasta atau negeri, tukang kebun atau petani, siswa dan siswi semua harus meraskan kemacetan di sana sini.
Selama ini, saya tidak ingin mengomentari kemacetan batu bara ini. Karena permasalahan batubara sudah seperti benang kusut, gubernur silih berganti, namun belum menemukan kunci untuk dapat memberi jalan keluar yang berarti. Kini peserta didik pun harus mengantri. Pada jalan-jalan yang dibangun negeri, memakai uang pajak yang mereka bayar sendiri.
Peserta didik yang terancam kehilangan pendidikan atau learning loss, kini harus ditambah lagi dengan kehilangan waktu belajar akibat kamacetan akibat mobil-mobil bertonase tinggi. Untuk diketahui bahwa hasil survei yang dilakukan bank dunia, UNICEF, dan Kemendikbud Ristek menemukan bahwa satu tahun pandemi, peserta didik mengalami learning loss yang setara dengan 6 bulan. Jadi agar learning loss akibat pandemic tidak bertambah parah, permasalahan batu bara harus segera diurai, agar peserta didik dapat mulai belajar dengan lancar kembali.
Bukan Salah Sopir
Kemacetan ini bukan salah sopir batu bara. Karena mereka bekerja sesuai aturan yang ada. Mereka harus mengurangi tonase batubara sudah mereka lakukan. Jam operasi dari 6 sore hingga 6 pagi juga sudah patuhi. Namun aturan-aturan yang sudah ada terkesan memberi ruang yang sempit bagi supir batu bara untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Bayangkan saja, pada demo supir batu bara tempo hari terungkap bahwa para sopir hanya memperolah Rp. 58.000 dalam satu kali trip. Tidak masuk akal sebenarnya, dengan uang gaji yang sangat rendah, namun resiko pekerjaan yang sangat parah. Mengendarai mobil yang hanya boleh beroperasi dari pukul 6 sore hingga 6 pagi bukanlah pekerjaan yang mudah. Belum lagi resiko ban pecah, atau pungutan liar yang membuat gerah. Andaikan sopir mendapat gaji yang cerah, tak akan mungkin rasanya mereka akan berak-arakan hingga terpaksa harus bertindak gegabah.
Naikkan Gaji Sopir Batu Bara
"Pengusaha dapat 20 Milyar, masih kita kasihan dengan mereka, tambang luar biasa pak, hari ini seperti itu, permasalahannya pemilik IUP bukan penambang, kontraktor yang nambang" (kutipan wawancara Ketua DPRD Provinsi Jambi, oleh wartawan metrojambi.com). Lebih lanjut, Edi Purwanto mengusulkan agar pengusaha memberikan upah yang layak ke sopir sesuai dengan kondisi batubara yang sedang baik balakangan ini. Namun tentunya kenaikan upah sopir juga harus mempertimbangkan ongkos-ongkos lain yang harus ditanggung oleh perusahaan agar tentunya perusahaan tidak dirugikan. Harapannya, dengan kenaikan upah sopir Batubara, para pengemudi tak lagi mengejar target setoran.
Akhirnya semoga efek domino dari permasalahan kemacetan jalan akibat kebijakan Batubara dapat segera teratasi. Sehingga peserta didik tak lagi dirugikan. Baik dirugikan dalam hal kemacetan, atau dirugikan akibat kecelakaan lalu lintas.
Di belahan bumi manapun, pendidikan harus selalu diutamakan. Jika urusan pendidikan sudah terusik, maka pemerintah harus bersedia melakukan refleksi, atas kebijakan yang sudah ditandatangani. Apapun alasannya, pendidikan harus menjadi skala prioritas.
Comments