Skip to main content

Tulisan belum Berjudul (2)


Kamarku masih gelap, ketika alarm di handphone tiba-tiba berteriak marah seolah ingin menyiramku dengan segayung air seperti yang Bu’e lakukan dulu ketika malas bangun pagi. Atau seperti Pa’e  yang tiba-tiba menyapu rata mukaku dnegan bekas air wudhu yang masih ada di mukanya. Ketika kecil, aku sering bersungut-sungut tak karuan ketika mimpi-mimpi indahku tiba-tiba harus hilang karena sapuan air. Tapi kini, aku harus berjuang sendiri melawan malas, meski kadang tiap hari harus berurusan dengan SAMSUNG ku yang sangat cerewet jika jam menunjukkan pukul 07:01.  Agak aneh memang, biasanya di Jambi aku menyudahi tidurku sebelum jam 05:00, terbangun untuk melaporkan kondisiku pada penguasa Pagi dan Malam. Atau jika aku rajin, aku terkandang bangun lebih awal untuk bersapa manja bertahajud ria dengan Sang Pencipta Fajar.

Dengan marah aku pencet HP ku yang masih berteriak lantang, semakin ku pencet semain keras suara yang ia keluarkan, hampir saja kubanting tapi aku masih ingat kalau ia ngambeg, tak mungkin aku bisa berbicara pada Bu’e dan Pa’e setiap dua hari sekali. Dan akhirnya pada percobaanku yang ke-tiga, alarm di cell phone tewas kubuat. Dengan bangganya aku kembali menyibak selimut tebal untuk melajutkan sequel episode yang terputus, …”tidak….. apa kau ingin kehilangan subuhmu Dhe-dhe…..” entah dari mana datangnya suara itu tapi yang jelas, bisikan itu sangat keras, sehingga membuat aku tersentak dan seakan tersadar akan suatu janji yang lupa aku tepati. Aku lihat jadwal sholat di atas meja “The Islamic Society of Greater Lansing, Athan Timings” aku urut table kecil-kelcil lalu kucari February 22, Fajr 06:17 sunrise: 07:24. Alhamdulillah…. leganya aku, ini berarti aku masih punya 20an menit lagi untuk menyapa Dzat yang meberiku kesempatan melihat dunia.

Dengan malas kutarik tirai jendela kamar, tak biasanya semua pemandangan di depan mataku putih…, aku tak bisa melihat jauh, karena dalam remang-remang suasana fajar, kapas-kapas dingin yang berdansa dan beterbangan dari langit menutup pandagan. Oh salju lagi, ku kira kau sudah kapok ketika seminggu lalu aku mengutukmu untuk tak lagi turun. Aku juga mengira kau tak kan berani berjejer membentuk gumpalan besar, karena pasti kau takut dengan sepakan ku yang sekuat Andiek Vermansyah. Tapi setidaknya pagi ini kau telah membuktikan, aku tak kuasa mengentikanmu wahai salju. Seakan pagi ini kau mengatakan, “selamat pagi Dhee-Dhee, jumpa lagi dengan saya kapas putih nan cantik SALJU, aku dantang kemari dikirim oleh Tuhanku untuk memberi warna yang indah pada dunia.”



Sekitar lima menit kurang lebih aku tertegun dari jendela kamar, sebelum akhirnya aku harus berlarian ke kamar mandi untuk bersiwa, berwudu dan kemudian menunaikan solat subuh. Segera setelah aku bermunajat, langsung ku sambar kamera digital seola tak ingin melewatkan momen-momen ketika mobil-mobil yang terparkir di apartemen terkubur. Aku tak mampu lagi menemukan jalan, sampai akhirnya aku melihat bulldozer menyibak belantara salju dan menyemprotkan cairan garam, tapi baru saja mobil pengusir salju itu berlalu, sang salju putih kembali merapat berbaris melapisi sepanjang jalan. Kamera kecilkupun tak mau tinggal diam, ia mengabadikan pohon kecil kering yang hanya kelihatan pucuknya tenggelam di lumat kapas putih; jejak-jejak sepatu yang tak lagi jelas karena kembali tertimbun jejatuhan sang laskar putih; sepedaku yang sekan protes kepadaku karena kuparkir di luar apartemen; dan meja kursi taman yang 4 bulan terakhir tak lagi difungsikan karena tak satupun warga di komplek aparteman 1550 yang berani melawan dinginnya winter.

Setelah puas, mengabadikan momen yang tak lazim pagi ini, aku kembali memasang alarm setiaku. Aku ingin memberikan hak mataku untuk reses setelah tadi malam mereka ku paksa begadang dengan rutinitas tugas-tugas yang diberi professor-profesor di kampus. Oke, satu jam semoga cukup karena siang ini aku tak mau melewatkan bertemu saudara-suadaraku berjajar dan untuk bersimpuh patuh bersama dalam hari yang istimewa: Jumat. Jumat memang sepecial bagiku, aku biasanya duduk di shaf depan, karena kata Rosul, shaf depan akan dihitung pahalanya lebih besar. Di shaf depan pulalah aku bisa menyimak khotbah-khotbah luar biasa mengalir bagai oase yang menyuburkan hatiku yang tandus. Di hari Jumat pulalah aku selalu menyisihkan beasiswa bulananku untuk bekal di dunia dan di akhirat kelak. Aku dulu tergolong pelit dengan kotak amal masjid, sebelum akhirnya aku membaca tulisan hebat dari pemuda istimewa: Muhammad Assad dengan bukunya Notes from Qatar. Di hari jumat pulalah aku bisa membeli nasi masjid $ 5, dengan fasilitas lengkap, nasi kungin, ayam yang dipotong besar yang dimasak khas arab, salad dan semacam risoles jumbo. Aku biasanya menikmati sajian timur tengah yang lezat itu dengan mahasiswa-mahasiwa dari Malaysia. Aku terkadang iri pada mereka, seteiap kali aku bertanya “bagaiamana kamu bisa sekolah di kampus ini” dengan bangga mereka menjawab, “kami dapat beasiswa penuh dari master hingga Ph.D dari kerajaan”. Ah, lagi-lagi kenapa dalam urusan persaingan negaraku selalu dikalahkan oleh sudara mudanya, si negeri Jiran.  Padahal jika saja pemimpinku tidak korupsi, maka 20 % anggaran pendidikan yang negeriku miliki takkan pernah kekurangan untuk memberik pendidikan gratis bagi warganya bahkan hingga bergelar doktor sekalipun.

tok…tok…tok….., Dhee-Dhe… are you still sleeping” 
ah siapa sih pagi-pagi mengetok pintu kamar, tak biasanya roommate ku membagnunkan ku pagi-pagi. Dan tak biasaya pintu ku dikteuk-ketuk seperi ini, apalagi kalau aku tak salah dengar, itu suara wanita.

dengan malas aku buka pintu kamar, dan astaga…. Seorang gadis jelita. Ada apa dia pagi-pagi ke apatememnku. Berani sekali dia, bukankah dia baru saja berkenalan tadi malam denganku pas acara pengajian di kampus dengan tema “The History of African American Muslims in the US”.

“Asheel… what’s up?” “Kenapa pagi-pagi sudah di apartemenku?....”
“Emang kenapa? Gak boleh? Gadis asal Iran itu malah balik bertanya, alih-alih malu karena mengetok pintu seorang bujang, eh malah dengan PD nya mengumbar senyum menggoda. Dari perekenalanku tadi malam, ia mengaku mahasiswa Ph.D tahun bertama merangkap sebagai Research Assistant Di College of engineering Michigan State University. “Are you from Indonesia, Dhe-dhe?” itu pertanyaan yang membuka perkenalaan kami malam tadi. “loh kok kamu tahu?” Jawabku sekenanya. “Iya, kita kan sama-sama jadi anggota di FB group Muslim Student Assosiation.”  Gadis jelita yang kini berumur 24 tahun sangat ramah, selalu ada aja pertnyaan yang bisa membuat percakapan mengalir.

“Dhe-dhe, kenapa kok malah melamun, heran ya kenapa aku bisa sampai di apartemen kamu? Lamunanku tiba-tiba pecah, “eh… maaf, silahkan duduk” dengan salah tingkah aku mempersilahkan dia duduk di ruang tamu, untuk mencegah langkahnya yang hampir saja masuk di kamarku.

“Aseel, langsung saja deh, ada tujuan apakah yang membawamu ke apartemenku?”
“begini, …..” dia kelihatan ragu untuk melanjutkan kalimatnya, aku sesekali mencuri pandang di wajah ayu timur tengahnya, namun sisanya aku lebih sering menundukkan kepala, menjaga pandangan. “Aku sebenarnya sudah lama memperhatikanmu, dari setiap pengajian kamu selalu hadir; di diskusi facebook group kami selalu aktif; kelihatannya pengetahuanmu tentang Islam lumayan bagus”

“Terimakasih Aseel, lalu hubungannya dengan kamu ke mari?” aku tetap berusaha memasang percakapan yang kaku, karena aku yakin tidak lah baik dua orang yang bukan mukhrim bercapak-cakap lama berdua, meski sebenarnya ada roommate ku tapi, dia malah berdiam di kamarnya.
“Aku dulu pernah bilang ke kamu di facebook bahwa meski aku sebenarnya lahir di Iran, tapi sejak aku berumur 5 tahun, keluargaku resmi berkewarganegaraan Amerika”
“Wow, menarik,… lalu?” terus terang aku sebenarnya menikmati perbincangan ini, tapi aku tetap mencoba untuk menjaga jarak dengannya.
“Orangtuaku sudah tua, mereka ingin sebelum mereka meninggal dunia, ia ingin melihat aku menikah dengan seorang pemuda Muslim yang taat. Dan aku melihat pancaran cahaya keimanan di wajahmu Dhe-dhe.”
Dalam hitungan detik, aku melambung tinggi, terbang melayang, mengitari samudera, hutan belantara dan pegunungan yang menjulang. Betapa tidak, pagi-pagi begini, dalam kondisi belum sarapan,  belum mandi pula, tiba-tiba dapat sanjungan gadis cantik nan anggun yang ku kenal tadi malam.
“Kedatanganku kemari, aku ingin menanyakan kepadamu, apakah.. eh….eh…eh… apakah  kamu, ehh…ehhh…. ehhh…bersedia menjadi suamiku?”
Aku tertegun, kali ini aku beranikan menatap matanya, kutatap dalam-dalam mata cokelat nan lentik, kali ini aku benar-benar tak mengindahkan perintah Tuhan untuk menjaga pandangan. Yang ada di benak adalah aku ingin benar-benar memastikan bahwa dia tidak sedang bercanda, tidak sedang berpura-pura atau hanya sekedar tebar pesona. Sebenarnya jujur saja, ketika aku berkenalan dengannya secara resmi tadi malam, aku benar-benar jatuh bersimpati kepadanya. Boleh dibilang aku jatuh hati pada semua yang ia miliki, kecantikannya, keanggunannya, kesalehannya, kecerdasannya semua sempurna. Tapi aku belum sampai pada tataran ingin memilikinya sebagai pendamping hidup.

“Kenapa diam, Dhe-dhe…. Kau harus memutuskan sekarang, karna jika tidak, pamanku telah menjodohkan ku dengan pemuda Iran kelahiran US, yang sungguh aku tak simpati dengan kelakuannya. Aku hanya punya waktu 10 menit sebelum aku meninggalkan apartemen ini Dhe-dhe.”

“Aseel, … menikah bukanlah perkara mudah. Bukanlah seperti engkau membeli buku di toko atau membeli buah di pasar. Banyak tahap yang harus dilewati Aseel.”

“Dhe-Dhe, bukankah kau percaya pada Tuhan? Apakah kau tega melihatkku menikah dengan orang tak kucintai? Dhe-dhe, cukup…..sekaranglah saatnya kau mengatakan bersedia atau tidak. Aku akan terima apapun keputusanmu”.

Aku memandangi langit-langit apartemnku, aku tak tahu kenapa pagi ini ia berubah warna menjadi kelabu, ia bergelommbang laksana ombak yang beriak, ia mengalir tenang bak sungai Batanghari di Jambi. Tetapi, dalam sekejap seolah aku mendapatkan jawaban dari nuansa hening yang kuciptakan, dari pesona langit-langit apartemen yang bereuforia. Dan aku pun telah yakin akan jawabnku.

“Aseel….. baru kali ini aku harus mengambil keputusan yang berakibat pada masa depanku, dalam waktu 10 menit. Baru kali ini pula aku harus memberi kepastian pada sosok wanita anggun yang aku kagumi sejak pertama aku bertemu. Tapi baru kali ini aku merasa begitu bahagia dan terpesona. Aseelllll… aku telah memutuskan bahwa… ehhh… bahwa aku …. Eh……..

“Tret…trettttt..treeeeetttttt…treeetttttt….treeeetttttttttttt…” 

“MasyaAlloh,…. MasyaAlloh, jam berapa sekarang. Astaghfirlullah… 12.23, Ya Alloh bukankah aku tadi pagi sudah pasang alarm untuk bangun pukul 10:00, kenapa alaramku baru bunyi pukul 12:23. Bukankah aku harus menunaikan ibadah sholat Jumat siang ini. Bukankah aku harus menafkahkan sebagian hartaku untuk sedekah hari ini.  Tanpa pikir panjang aku langsung menyambar handuk, dan berlari menuju kamar mandi. Aku tak mau hari ini ketinggalah solat Jumat.
-------------------------
Ah, aku tak bisa lagi mendefiniskan perasaanku tentang mimpiku tadi pagi. Sembari belarian mengejar jadwal bus nomor 39 yang melewati Islamic Center East Lansing, aku kembali teringat akan mimpiku tadi pagi. Ah, seandainya mimpiku tadi adalah nyata. Aku pun tak ketinggalan menyalahkan HP Samsung yang telah setia menemani selama 7 pengembaraan ku di Michigan. “Kenapa sih kamu tidak ontine banguninnya”; “Kenapa sih kamu gangguin aja, orang baru mau jawab ajakan menikah dari si Aseel”. “Kenapa gak menunggu sampai aku selesai jawab pertanyaannya, baru kamu teriakin tidurku”.

Sambil menunggu bus yang kelihatannya terlambat karena tak berani melaju cepat akibat jalan tertutup salju, kuambil ranting yang ada di pinggir halte. Kebiasaan yang aku lakukan jika bersalju adalah membuat tulisan, menggambar lambang cinta, menulis nama Dhe-dhe, atau yang lebih ekstrim membuat gumpalan salju besar-besar lalu kutendang sekeras-kerasnya seperti tendangan Syamsir Alam, DC-United. Edisi hari ini aku menuliskan nama, Aseel di atas salju. Aku sebenarnya mafhum se mafhumnya bahwa hanya membuang-buang waktu memikirkan wanita yang belum halal. Tapi, hati tak bisa disangkal, ia menggerakkan tanganku untuk mengukir nama itu.

Sudah lima menit aku menunggu, hembusan angin siang ini luar biasa menusuk tulang. Malam tadi aku sempat melihat perkiraan cuaca, dan siang ini diprediksikan -11. Tapi aku tak percaya, ini pasti -20 derajat Celcius. Hawa dingin memang luar biasa, ia bisa memaksakan pepohonan menggugurkan daunnya, memaksa sungai dan danau membeku, tupai-tupai jadi kehilangan tempat tidur yang nyaman, para kecoa mengungsi masuk menyelinap di apartemen-apartemen mahasiswa-termasuk di apartemenku 1550 G. Tapi aku heran di seberang jalan, ada aja anak-anak menantang dingin, mebuat snow angel, snow man, berlarian, bertimpukan salju satu sama lain, ada juga yang berenang-renang di atas hamparan putih nan indah. Ah, Amerika memang punya variasi hari yang berwarna.

Tak lama setelah menikmati pemandangan anak-anak berlarian di seberang jalan, perlahan-lahan bus bertuliskan 39 University Village. Dengan sigap aku menuju pinggir jalan pemberhentian, sambil menarik kartu bus pass dari dompet kulit hitam di saku. “Hi how are you doing” sapa tante sopir dengan ramah. Para pengemudi bus di sini, ramah-ramah setiap naik di tanya kabar terus kalau turun mereka bilang “have a good day”.  Kalau di Indonesia menurutku lebih ramah sih, karena para kernet selalu bertanya jika melihat kita berdiri di pinggir jalan. Pasar?... pasar?, atau “kemana bang?” kalau di sini gak akan mungkin pak sopir atau bu sopir bertanya “mau ke mana”, pokoknya Indonesia is the best lah pokoke.

I am good, how are you” jawaban ini pokoknya pasti aku ucapkan setiap kali naik bus, meski aku tak pernah peduli apa yang akan dijawab para sopir. Akupun berlalu cepat mencari tempat duduk. Tapi sayang semua telah penuh, akupun memilih berdiri di dekat pintu tengah bus.  

“Dhe-dhe”… terdengar suara yang tak asing terdengar di telinga dari kursi bagian belakang bus.
“Aseel”….

#Bersambung#





Comments

anneka said…
Eiitsss...Mantaaappp ini tulisannya...

*Like This..!!
anneka said…
Eiiitsss...Keren banget tulisannya!

*Like This!
Anonymous said…
Eiittsss...tulisannya kerren!

*like this!
Dion Ginanto said…
Terimakasih Anneke... InsyaAlloh tulisan ini akan dilanjutkan menjadi Novel.

Popular posts from this blog

Sampling

This slides provide you:  1. the definition of sampling  2. sampling frame 3. determining the size of your sample  4. sampling procedure (Probability and non-probability)  Please follow/download the link for the Power Point Slides

The Legend of Jambi Kingdom (Narrative Text)

   Image: https://www.gambarrumah.pro/2012/10/400-gambar-kartun-rumah-adat-jambi.html Once upon a time, there were five villages, Tujuh Koto, Sembilan Koto, Petajin, Muaro Sebo, and Batin Duo Belas. The villagers of those five villages lived peacefully. They helped each other. Soon, the number of villagers grew highly. The villagers thought that they needed a leader to guide them. They wanted to have a king. So, the leaders from the five villages had a meeting. They wanted to set the criteria who could be their king. "Our king should be physically strong," said the leader from Tujuh Koto. "I agree. The king should be able to protect us from the enemies, "said one leader. "Not only that. He should also be well respected by us. So, the king should be strong and have good manners," said the leader from Petajin. "Then, let’s set the criteria. I have a suggestion. The king should be strong from fire. He cannot feel the pain if we burn him," said leade...

The Legend of Jambi (Narrative Text)

                                                    Gambar: http://www.ceritadongenganak.com   Once upon a time, there lived in Sumatra Island a very beautiful girl, Putri Pinang Masak. The girl was also a very kind-hearted person. This made everyone liked her so much. Many youth and princes from other countries desire her to be his wife. Nevertheless, she refused their proposals because she had not wanted to get married yet. One day, there was a very wealthy king, the king of the east kingdom, coming to her village. He proposed to marry her. Putri Pinang Masak was afraid to refuse the king’s proposal although she actually did not love the king, the ugly-faced man, at all. She knew that the king would be very angry and there would ...