Kamarku masih gelap, ketika alarm
di handphone tiba-tiba berteriak marah seolah ingin menyiramku dengan segayung
air seperti yang Bu’e lakukan dulu ketika malas bangun pagi. Atau seperti Pa’e yang tiba-tiba menyapu rata mukaku dnegan
bekas air wudhu yang masih ada di mukanya. Ketika kecil, aku sering bersungut-sungut
tak karuan ketika mimpi-mimpi indahku tiba-tiba harus hilang karena sapuan air.
Tapi kini, aku harus berjuang sendiri melawan malas, meski kadang tiap hari
harus berurusan dengan SAMSUNG ku yang sangat cerewet jika jam menunjukkan
pukul 07:01. Agak aneh memang, biasanya
di Jambi aku menyudahi tidurku sebelum jam 05:00, terbangun untuk melaporkan
kondisiku pada penguasa Pagi dan Malam. Atau jika aku rajin, aku terkandang
bangun lebih awal untuk bersapa manja bertahajud ria dengan Sang Pencipta
Fajar.
Dengan marah aku pencet HP ku yang
masih berteriak lantang, semakin ku pencet semain keras suara yang ia
keluarkan, hampir saja kubanting tapi aku masih ingat kalau ia ngambeg, tak
mungkin aku bisa berbicara pada Bu’e dan Pa’e setiap dua hari sekali. Dan
akhirnya pada percobaanku yang ke-tiga, alarm di cell phone tewas kubuat.
Dengan bangganya aku kembali menyibak selimut tebal untuk melajutkan sequel
episode yang terputus, …”tidak….. apa kau ingin kehilangan subuhmu Dhe-dhe…..”
entah dari mana datangnya suara itu tapi yang jelas, bisikan itu sangat keras,
sehingga membuat aku tersentak dan seakan tersadar akan suatu janji yang lupa
aku tepati. Aku lihat jadwal sholat di atas meja “The Islamic Society of
Greater Lansing, Athan Timings” aku urut table kecil-kelcil lalu kucari
February 22, Fajr 06:17 sunrise: 07:24. Alhamdulillah…. leganya aku, ini
berarti aku masih punya 20an menit lagi untuk menyapa Dzat yang meberiku
kesempatan melihat dunia.
Dengan malas kutarik tirai jendela
kamar, tak biasanya semua pemandangan di depan mataku putih…, aku tak bisa
melihat jauh, karena dalam remang-remang suasana fajar, kapas-kapas dingin yang
berdansa dan beterbangan dari langit menutup pandagan. Oh salju lagi, ku kira
kau sudah kapok ketika seminggu lalu aku mengutukmu untuk tak lagi turun. Aku
juga mengira kau tak kan berani berjejer membentuk gumpalan besar, karena pasti
kau takut dengan sepakan ku yang sekuat Andiek Vermansyah. Tapi setidaknya pagi
ini kau telah membuktikan, aku tak kuasa mengentikanmu wahai salju. Seakan pagi
ini kau mengatakan, “selamat pagi Dhee-Dhee, jumpa lagi dengan saya kapas putih
nan cantik SALJU, aku dantang kemari dikirim oleh Tuhanku untuk memberi warna
yang indah pada dunia.”
Sekitar lima menit kurang lebih aku
tertegun dari jendela kamar, sebelum akhirnya aku harus berlarian ke kamar
mandi untuk bersiwa, berwudu dan kemudian menunaikan solat subuh. Segera
setelah aku bermunajat, langsung ku sambar kamera digital seola tak ingin
melewatkan momen-momen ketika mobil-mobil yang terparkir di apartemen terkubur.
Aku tak mampu lagi menemukan jalan, sampai akhirnya aku melihat bulldozer
menyibak belantara salju dan menyemprotkan cairan garam, tapi baru saja mobil
pengusir salju itu berlalu, sang salju putih kembali merapat berbaris melapisi
sepanjang jalan. Kamera kecilkupun tak mau tinggal diam, ia mengabadikan pohon
kecil kering yang hanya kelihatan pucuknya tenggelam di lumat kapas putih;
jejak-jejak sepatu yang tak lagi jelas karena kembali tertimbun jejatuhan sang
laskar putih; sepedaku yang sekan protes kepadaku karena kuparkir di luar
apartemen; dan meja kursi taman yang 4 bulan terakhir tak lagi difungsikan
karena tak satupun warga di komplek aparteman 1550 yang berani melawan dinginnya
winter.
Setelah puas, mengabadikan momen
yang tak lazim pagi ini, aku kembali memasang alarm setiaku. Aku ingin
memberikan hak mataku untuk reses setelah tadi malam mereka ku paksa begadang
dengan rutinitas tugas-tugas yang diberi professor-profesor di kampus. Oke,
satu jam semoga cukup karena siang ini aku tak mau melewatkan bertemu
saudara-suadaraku berjajar dan untuk bersimpuh patuh bersama dalam hari yang
istimewa: Jumat. Jumat memang sepecial bagiku, aku biasanya duduk di shaf
depan, karena kata Rosul, shaf depan akan dihitung pahalanya lebih besar. Di
shaf depan pulalah aku bisa menyimak khotbah-khotbah luar biasa mengalir bagai
oase yang menyuburkan hatiku yang tandus. Di hari Jumat pulalah aku selalu
menyisihkan beasiswa bulananku untuk bekal di dunia dan di akhirat kelak. Aku
dulu tergolong pelit dengan kotak amal masjid, sebelum akhirnya aku membaca
tulisan hebat dari pemuda istimewa: Muhammad Assad dengan bukunya Notes from
Qatar. Di hari jumat pulalah aku bisa membeli nasi masjid $ 5, dengan fasilitas
lengkap, nasi kungin, ayam yang dipotong besar yang dimasak khas arab, salad
dan semacam risoles jumbo. Aku biasanya menikmati sajian timur tengah yang
lezat itu dengan mahasiswa-mahasiwa dari Malaysia. Aku terkadang iri pada
mereka, seteiap kali aku bertanya “bagaiamana kamu bisa sekolah di kampus ini”
dengan bangga mereka menjawab, “kami dapat beasiswa penuh dari master hingga
Ph.D dari kerajaan”. Ah, lagi-lagi kenapa dalam urusan persaingan negaraku
selalu dikalahkan oleh sudara mudanya, si negeri Jiran. Padahal jika saja pemimpinku tidak korupsi,
maka 20 % anggaran pendidikan yang negeriku miliki takkan pernah kekurangan
untuk memberik pendidikan gratis bagi warganya bahkan hingga bergelar doktor
sekalipun.
“tok…tok…tok….., Dhee-Dhe… are you still sleeping”
ah siapa sih pagi-pagi mengetok
pintu kamar, tak biasanya roommate ku membagnunkan ku pagi-pagi. Dan tak
biasaya pintu ku dikteuk-ketuk seperi ini, apalagi kalau aku tak salah dengar,
itu suara wanita.
dengan malas aku buka pintu kamar,
dan astaga…. Seorang gadis jelita. Ada apa dia pagi-pagi ke apatememnku. Berani
sekali dia, bukankah dia baru saja berkenalan tadi malam denganku pas acara
pengajian di kampus dengan tema “The History of African American Muslims in the
US”.
“Asheel… what’s up?” “Kenapa
pagi-pagi sudah di apartemenku?....”
“Emang kenapa? Gak boleh? Gadis
asal Iran itu malah balik bertanya, alih-alih malu karena mengetok pintu
seorang bujang, eh malah dengan PD nya mengumbar senyum menggoda. Dari
perekenalanku tadi malam, ia mengaku mahasiswa Ph.D tahun bertama merangkap
sebagai Research Assistant Di College of engineering Michigan State University.
“Are you from Indonesia, Dhe-dhe?” itu pertanyaan yang membuka perkenalaan kami
malam tadi. “loh kok kamu tahu?” Jawabku sekenanya. “Iya, kita kan sama-sama
jadi anggota di FB group Muslim Student Assosiation.” Gadis jelita yang kini berumur 24 tahun sangat
ramah, selalu ada aja pertnyaan yang bisa membuat percakapan mengalir.
“Dhe-dhe, kenapa kok malah melamun,
heran ya kenapa aku bisa sampai di apartemen kamu? Lamunanku tiba-tiba pecah,
“eh… maaf, silahkan duduk” dengan salah tingkah aku mempersilahkan dia duduk di
ruang tamu, untuk mencegah langkahnya yang hampir saja masuk di kamarku.
“Aseel, langsung saja deh, ada
tujuan apakah yang membawamu ke apartemenku?”
“begini, …..” dia kelihatan ragu
untuk melanjutkan kalimatnya, aku sesekali mencuri pandang di wajah ayu timur
tengahnya, namun sisanya aku lebih sering menundukkan kepala, menjaga
pandangan. “Aku sebenarnya sudah lama memperhatikanmu, dari setiap pengajian
kamu selalu hadir; di diskusi facebook group kami selalu aktif; kelihatannya
pengetahuanmu tentang Islam lumayan bagus”
“Terimakasih Aseel, lalu
hubungannya dengan kamu ke mari?” aku tetap berusaha memasang percakapan yang
kaku, karena aku yakin tidak lah baik dua orang yang bukan mukhrim
bercapak-cakap lama berdua, meski sebenarnya ada roommate ku tapi, dia malah
berdiam di kamarnya.
“Aku dulu pernah bilang ke kamu di
facebook bahwa meski aku sebenarnya lahir di Iran, tapi sejak aku berumur 5
tahun, keluargaku resmi berkewarganegaraan Amerika”
“Wow, menarik,… lalu?” terus terang
aku sebenarnya menikmati perbincangan ini, tapi aku tetap mencoba untuk menjaga
jarak dengannya.
“Orangtuaku sudah tua, mereka ingin
sebelum mereka meninggal dunia, ia ingin melihat aku menikah dengan seorang
pemuda Muslim yang taat. Dan aku melihat pancaran cahaya keimanan di wajahmu
Dhe-dhe.”
Dalam hitungan detik, aku melambung
tinggi, terbang melayang, mengitari samudera, hutan belantara dan pegunungan
yang menjulang. Betapa tidak, pagi-pagi begini, dalam kondisi belum sarapan, belum mandi pula, tiba-tiba dapat sanjungan
gadis cantik nan anggun yang ku kenal tadi malam.
“Kedatanganku kemari, aku ingin
menanyakan kepadamu, apakah.. eh….eh…eh… apakah
kamu, ehh…ehhh…. ehhh…bersedia menjadi suamiku?”
Aku tertegun, kali ini aku
beranikan menatap matanya, kutatap dalam-dalam mata cokelat nan lentik, kali
ini aku benar-benar tak mengindahkan perintah Tuhan untuk menjaga pandangan.
Yang ada di benak adalah aku ingin benar-benar memastikan bahwa dia tidak
sedang bercanda, tidak sedang berpura-pura atau hanya sekedar tebar pesona.
Sebenarnya jujur saja, ketika aku berkenalan dengannya secara resmi tadi malam,
aku benar-benar jatuh bersimpati kepadanya. Boleh dibilang aku jatuh hati pada
semua yang ia miliki, kecantikannya, keanggunannya, kesalehannya, kecerdasannya
semua sempurna. Tapi aku belum sampai pada tataran ingin memilikinya sebagai
pendamping hidup.
“Kenapa diam, Dhe-dhe…. Kau harus
memutuskan sekarang, karna jika tidak, pamanku telah menjodohkan ku dengan
pemuda Iran kelahiran US, yang sungguh aku tak simpati dengan kelakuannya. Aku
hanya punya waktu 10 menit sebelum aku meninggalkan apartemen ini Dhe-dhe.”
“Aseel, … menikah bukanlah perkara
mudah. Bukanlah seperti engkau membeli buku di toko atau membeli buah di pasar.
Banyak tahap yang harus dilewati Aseel.”
“Dhe-Dhe, bukankah kau percaya pada
Tuhan? Apakah kau tega melihatkku menikah dengan orang tak kucintai? Dhe-dhe,
cukup…..sekaranglah saatnya kau mengatakan bersedia atau tidak. Aku akan terima
apapun keputusanmu”.
Aku memandangi langit-langit
apartemnku, aku tak tahu kenapa pagi ini ia berubah warna menjadi kelabu, ia
bergelommbang laksana ombak yang beriak, ia mengalir tenang bak sungai
Batanghari di Jambi. Tetapi, dalam sekejap seolah aku mendapatkan jawaban dari
nuansa hening yang kuciptakan, dari pesona langit-langit apartemen yang
bereuforia. Dan aku pun telah yakin akan jawabnku.
“Aseel….. baru kali ini aku harus
mengambil keputusan yang berakibat pada masa depanku, dalam waktu 10 menit.
Baru kali ini pula aku harus memberi kepastian pada sosok wanita anggun yang
aku kagumi sejak pertama aku bertemu. Tapi baru kali ini aku merasa begitu
bahagia dan terpesona. Aseelllll… aku telah memutuskan bahwa… ehhh… bahwa aku
…. Eh……..
“Tret…trettttt..treeeeetttttt…treeetttttt….treeeetttttttttttt…”
“MasyaAlloh,…. MasyaAlloh, jam
berapa sekarang. Astaghfirlullah… 12.23, Ya Alloh bukankah aku tadi pagi sudah
pasang alarm untuk bangun pukul 10:00, kenapa alaramku baru bunyi pukul 12:23.
Bukankah aku harus menunaikan ibadah sholat Jumat siang ini. Bukankah aku harus
menafkahkan sebagian hartaku untuk sedekah hari ini. Tanpa pikir panjang aku langsung menyambar
handuk, dan berlari menuju kamar mandi. Aku tak mau hari ini ketinggalah solat
Jumat.
-------------------------
Ah, aku tak bisa lagi mendefiniskan
perasaanku tentang mimpiku tadi pagi. Sembari belarian mengejar jadwal bus
nomor 39 yang melewati Islamic Center East Lansing, aku kembali teringat akan
mimpiku tadi pagi. Ah, seandainya mimpiku tadi adalah nyata. Aku pun tak
ketinggalan menyalahkan HP Samsung yang telah setia menemani selama 7
pengembaraan ku di Michigan. “Kenapa sih kamu tidak ontine banguninnya”;
“Kenapa sih kamu gangguin aja, orang baru mau jawab ajakan menikah dari si
Aseel”. “Kenapa gak menunggu sampai aku selesai jawab pertanyaannya, baru kamu
teriakin tidurku”.
Sambil menunggu bus yang
kelihatannya terlambat karena tak berani melaju cepat akibat jalan tertutup salju,
kuambil ranting yang ada di pinggir halte. Kebiasaan yang aku lakukan jika
bersalju adalah membuat tulisan, menggambar lambang cinta, menulis nama
Dhe-dhe, atau yang lebih ekstrim membuat gumpalan salju besar-besar lalu
kutendang sekeras-kerasnya seperti tendangan Syamsir Alam, DC-United. Edisi
hari ini aku menuliskan nama, Aseel di atas salju. Aku sebenarnya mafhum se
mafhumnya bahwa hanya membuang-buang waktu memikirkan wanita yang belum halal.
Tapi, hati tak bisa disangkal, ia menggerakkan tanganku untuk mengukir nama
itu.
Sudah lima menit aku menunggu,
hembusan angin siang ini luar biasa menusuk tulang. Malam tadi aku sempat
melihat perkiraan cuaca, dan siang ini diprediksikan -11. Tapi aku tak percaya,
ini pasti -20 derajat Celcius. Hawa dingin memang luar biasa, ia bisa
memaksakan pepohonan menggugurkan daunnya, memaksa sungai dan danau membeku,
tupai-tupai jadi kehilangan tempat tidur yang nyaman, para kecoa mengungsi
masuk menyelinap di apartemen-apartemen mahasiswa-termasuk di apartemenku 1550 G.
Tapi aku heran di seberang jalan, ada aja anak-anak menantang dingin, mebuat snow angel, snow man, berlarian, bertimpukan salju satu sama lain, ada juga
yang berenang-renang di atas hamparan putih nan indah. Ah, Amerika memang punya
variasi hari yang berwarna.
Tak lama setelah menikmati
pemandangan anak-anak berlarian di seberang jalan, perlahan-lahan bus
bertuliskan 39 University Village.
Dengan sigap aku menuju pinggir jalan pemberhentian, sambil menarik kartu bus
pass dari dompet kulit hitam di saku. “Hi how are you doing” sapa tante sopir
dengan ramah. Para pengemudi bus di sini, ramah-ramah setiap naik di tanya
kabar terus kalau turun mereka bilang “have
a good day”. Kalau di Indonesia
menurutku lebih ramah sih, karena para kernet selalu bertanya jika melihat kita
berdiri di pinggir jalan. Pasar?... pasar?, atau “kemana bang?” kalau di sini
gak akan mungkin pak sopir atau bu sopir bertanya “mau ke mana”, pokoknya
Indonesia is the best lah pokoke.
“I am good, how are you” jawaban ini pokoknya pasti aku ucapkan
setiap kali naik bus, meski aku tak pernah peduli apa yang akan dijawab para
sopir. Akupun berlalu cepat mencari tempat duduk. Tapi sayang semua telah
penuh, akupun memilih berdiri di dekat pintu tengah bus.
“Dhe-dhe”… terdengar suara yang tak
asing terdengar di telinga dari kursi bagian belakang bus.
“Aseel”….
#Bersambung#
Comments
*Like This..!!
*Like This!
*like this!