Pemerintah baru-baru ini
berencana membangun sekolah unggulan yang akan mempersiapkan lulusannya
melanjutkan studi ke perguruan tinggi top dunia. Pemerintah bertekad
menyelesaikan pembangunan 20 SMA Unggulan Garuda dan ditargetkan rampung pada
tahun 2029. Ide pembangunan sekolah unggulan yang berfokus pada prestasi akademik
ini tentu menuai pro dan kontra dari berbagai pihak. Mulai dari potensi
kecemburuan, memperlebar gap antar sekolah, hingga pada permasalahan
nasionalisme.
Beberapa ahli dan pengamat
pendidikan bahkan menilai kebijakan pembangunan sekolah unggulan ini sebagai
kabijakan mundur dan rentan mengulang kesalahan masa lalu. Sistem kebijakan
zonasi (meskipun juga banyak mendapat kritikan) setidaknya telah berhasil
mengangkat marwah sekolah-sekolah “non-favorit”. Hal ini dikarenakan sekolah
dengan label “biasa” selalu mendapat peserta didik sisa saringan dari sekolah favorit.
Setelah adanya kebijakan zonasi, penyebaran murid berprestasi dan murid yang
belum berprestasi sudah mulai merata antara satu sekolah dengan sekolah yang
lain.
Guru-guru yang selama ini
mengajar di sekolah yang tidak berlabel favorit, merasa sangat senang karena
mendapat variasi input murid. Sebaliknya, sekolah yang selama ini dianggap
favorit, guru-gurunya banyak yang berteriak, karena mendapat input yang tidak
sama seperti biasanya. Meskipun demikian, setelah beberapa tahun berjalan,
guru-guru saat ini sudah mulai mampu beradaptasi dengan baik.
Dengan membangun sekolah unggul
baru, tentu akan kembali menimbulkan kecemburuan antar guru. Akan kembali
membuka gap antara sekolah biasa dan sekolah favorit. Jika input peserta
didiknya sudah bagus, guru akan cenderung mengajar dengan mudah. Mereka yang
mengajar di sekolah unggul tentu akan sedikit mengalami drama-drama seperti:
murid yang bolos sekolah, murid yang merokok di kantin sekolah, atau
murid-murid yang harus diberi tambahan waktu untuk mengikuti remedial.
Tantangan mengajar di sekolah unggul tentu ada, namun berbeda dengan
sekolah-sekolah yang dikategorikan biasa-biasa saja.
Oleh karena itu pemerintah perlu
memikirkan kembali akan rencana pembangunan 20 sekolah unggul baru di
Indonesia. Berikut hal-hal yang barangkali perlu menjadi pertimbangan
pemerintah, sebelum benar-benar memutuskan membangun SMA Unggulan Garuda:
1. Sekolah unggulan hanya untuk mereka yang berprestasi akademik?
"Jadi ini betul-betul upaya kami memberi ruang untuk
teman-teman yang pintar, hebat, (sehingga) dapat pendidikan yang sesuai" (Prof.
Satryo, dalam Tempo, 2025). Pernyataan Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan
Teknologi ini perlu didalami lagi. Apakah yang dimaksud pintar dan hebat ini
hanya untuk prestasi akademik saja. Bagaimana dengan peserta didik yang hebat
dalam bidang seni? Apakah tidak dikategorikan pintar? Atau bagaimana mereka
yang mempunyai bakat olahraga? Apakah mereka tidak termasuk dalam kategori
hebat?
Jika dilihat dari berita-berita yang berdar serta
pernyataan dari Mendiktisaintak serta Wamendiktisaintek, yang dimaksud pintar
dan hebat ini mengerucut pada mereka yang berprestasi secara akademik. Dari
laman detik.com misalnya, Mendiktisaintek mengungkapkan bahwa sekolah unggulan
itu diperuntukkan untuk peserta didik dengan kecerdasan di atas rata-rata.
Karena selama ini di Indonesia belum memberikan wadah yang tepat untuk siswa
dengan kecerdasan tinggi tersebut. Senada dengan Mendiktisaintek, Prof. Stella,
wakil menteri mengungkapkan bahwa talenta-telenta muda tersebut disiapkan untuk
dapat menguasai sains dan teknologi dengan sempurna (Kompas, 2024).
Dari argumen Menteri dan wakil mendiktisaintek tersebut, menjurus kepada kecerdasan akademik. Bukan untuk peserta didik yang mempunyai kecerdasan motorik seperti pada atlit-atlit olahraga, juga bukan pada kecerdasan seni, atau kecerdasan sosial lainnya. Oleh karena itu, pemerintah seharusnya mempertimbangkan kembali apakah perlu juga memberikan akses untuk murid-murid yang mempunyai kecerdasan non-kognitif. Karena sejatinya murid-murid yang cedas secara non-kognitif juga mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan sekolah unggulan.
2. Dilatih untuk bisa masuk ke perguruan tinggi kelas dunia?
Dari alasan-alasan yang diungkapkan oleh pemerintah melalui
pernyataan Prof. Satryo dan Prof. Stella, argumen utama pembangunan sekolah
unggulan Garuda adalah agar lulusannya dapat melanjutkan ke perguruan tinggi
top dunia. Prof. Satryo misalnya, seperti dikutip dari laman Tempo.co dan
Kompas.com berdalih bahwa lulusan SMA Unggulan Garuda akan diarahkan masuk ke
perguruan tinggi kelas terbaik di luar negeri.
Sejalan dengan itu, Prof. Stella berpendapat agar dapat
mempermudah para lulusan sekolah unggulan melanjutkan studi ke luar negeri,
kurikulum yang dipakai juga menggunakan kurikulum internasional. Lebih
spesifik, kurikulum yang dipakai adalah kurikulum IB (International
Baccalaureate). Menurut Prof. Stella, Kurikulum Indonesia secara konten
sudah sangat bagus, akan tetapi kurikulum Indonesia tidak dikenal oleh
universitas-universitas ternama dunia (Tempo, 2025).
Dari pernyataan menteri dan wamen ini, saya kemudian
berfikir. Kalau tujuan akhirnya adalah untuk melanjutkan ke luar negeri,
mengapa pemerintah harus menghabiskan banyak dana untuk mendirikan sekolah
unggulan baru? Bukankah pemerintah cukup memberikan beasiswa untuk murid-murid
agar bersekolah di sekolah internasional atau Satuan Pendidikan Kerjasama (SPK)
yang telah ada. Sekolah-sekolah SPK/Sekolah Internasional sudah cukup lama
berdiri di kota-kota besar di tanah air dan sudah menerapkan Kurikulum IB. Jadi,
pemerintah cukup bekerjasama dengan memberikan beasiswa, sehingga dapat lebih menghemat
anggaran.
Atau jika ingin lebih hemat anggaran lagi, pemerintah dapat
bekerjasama dengan konsultan pendidikan yang bergerak di bidang konsultasi kuliah
ke luar negeri. Bukankah program pelatihan dan persiapan kuliah ke luar negeri
sudah dijalankan dengan baik oleh konsultan pendidikan di tanah air? Bahkan
dengan biaya yang pasti jauh lebih murah dibanding membangun sekolah, jasa
konsultan pendidikan ini dirasa lebih efektif. Pemerintah hanya perlu
memberikan beasiswa insentif selama tiga bulan untuk berlatih dengan konsultan
pendidikan makan dijamin akan masuk ke perguruan tinggi top dunia.
Atau barangkali kita juga perlu belajar pada Pemda Aceh dan Pemda Papua yang selama ini berhasil mengirim putra-putrinya dengan beasiswa daerah untuk berkuliah ke kampus-kampus top di Amerika dan negara lainnya. Kalau pemerintah Aceh dan Papua berhasil mengirim putra-putri terbaiknya tanpa harus mendirikan sekolah unggul, mengapa hanya dengan misi kuliah ke luar negeri negara harus mendirikan sekolah unggulan baru?
3. Mengapa hanya 20? Indonesia mempunyai 38 provinsi?
Pemerintah hanya menargetkan membangun 20 sekolah unggul
baru, ditambah 20 sekolah existing yang akan disulap menjadi Sekolah
Unggulan Garuda. Pertanyaannya, mengapa tidak 38 sekolah unggulan baru? Kalau
hanya 20, pasti provinsi yang tidak kebagian dibagun sekolah unggulan baru akan
bertanya-tanya: “Apa salah kami?” mengapa dibangun di provinsi sebelah,
sementara di provinsi kami tidak?” Pemerintah perlu berlaku adil, agar nanti
tidak menimbulkan kecemburuan antar provinsi.
Murid yang bersekolah di bangunan yang baru tentu akan lebih merasa nyaman dibandingkan dengan sekolah dengan bangunan lama yang dipaksakan beralih status menjadi sekolah unggulan. Lalu apakah kemudian standar fasilitas, serta sarana dan prasarana dapat dipastikan mempunyai kualitas yang sama antara satu sekolah unggulan dengan sekolah unggulan yang lain? Dikhawatirkan sekolah unggulan di daerah tertentu, bangunanya megah namun tidak disupport dengan aliran listrik dan supply air serta kesadaran masyarakat dalam merawat aset bangunan. Hasilnya, terlihat mewah di luar, namun tragis di dalam. Pemerintah, tentunya perlu memikirkan kembali mengapa angka 20 yang dipilih, bukan angka 38 sesuai jumlah provinsi di tanah air.
4. Bagaimana dengan nasionalisme?
Nasionalisme pada Sekolah Unggulan Garuda ini patut
dipertanyakan: pertama, guru-guru di sekolah sebahagiannya akan didatangkan
dari luar negeri: “…ada beberapa guru dari asing. Guru untuk bisa mungkin
memberikan wawasan. Misalnya Anda tertarik untuk ke luar negeri, inilah yang
terjadi" (Tempo, 2025). Pertanyaannya adalah, kalau hanya memotivasi murid
untuk kuliah ke luar negeri, apakah tidak cukup dengan guru dari tanah air.
Toh, sudah banyak guru-guru Indonesia yang bergelar master dan bahkan doktor
dari luar negeri. Selain itu, banyak juga guru-guru yang telah mengikuti short
course ke luar negeri. Jadi meng-hire guru asing untuk memberi
wawasan kuliah ke luar negeri, tentu perlu dipertimbangkan ulang.
Yang kedua, kurikulum yang akan dipakai adalah kurikulum
nasional plus kurikulum IB (Kompas, 2025). Jika kementrian pendidikan saja
tidak mempercayai kurikulum yang dibuatnya sendiri, lantas siapa lagi yang akan
mempercayai kurikulum di tanah air? Bukankah selama ini putra-putri Indonesia
yang berkuliah ke luar negeri juga produk kurikulum Indonesia? Kalau mereka
bisa memakai kurikulum Indonesia, mengapa harus menggunakan kurikulum IB?
Ketiga, lulusan sekolah unggulan ini akan disiapkan untuk
kuliah pada perguruan tinggi top di luar negeri (Detik, Kompas, Tempo, 2025). Agak
disayangkan pernyataan ini keluar dari menteri pendidikan tinggi, sains, dan
teknologi. Notabene, mereka adalah pimpinan tertinggi di atas rektor-rektor
perguraun tinggi di tanah air. Apakah kampus-kampus top Indonesia tidak mampu
memberikan pengetahuan dan keteramapilan dalam hal sains dan teknologi?
Jika menteri lain (menteri keuangan dengan LPDPnya) yang memasarkan perguruan tinggi asing itu lain cerita (dan dianggap sangat perlu). Namun sekelas Menteri dan Wamen diktisaintek yang secara terus-menerus mengulang narasi tentang lulusan sekolah unggul kuliah ke luar negeri, tentu patut dipertanyakan. Bukankah justru seharusnya Mendiktisaintek agenda utamanya adalah promosi kampus sendiri, bukan malah promosi kampus luar negeri?
5. Kebijakan pendidikan itu beda menteri beda policy?
Terakhir, di Indonesia itu setiap ganti presiden ganti
kebijakan. Setiap ganti menteri ganti policy. Jauh sebelum adanya ide
Sekolah Unggulan Garuda, kita pernah memiliki RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf
Internasional). RSBI mempunyai semangat yang mirip dengan Sekolah Unggulan
Garuda. Bedanya, ia tidak membangun sekolah baru. Namun memilih beberapa
sekolah existing yang kemudian disulap menjadi RSBI. Akan tetapi, toh
ternyata kebijakan ini tidak bertahan lama.
Kita juga pernah mempunyai kebijakan program akselerasi, yang memberikan saluran bagi anak-anak yang super cerdas sehingga dapat menyelesaikan sekolahnya dengan lebih cepat. Toh, kebijakan ini juga tidak bertahan lama. Lantas, apakah Sekolah Unggulan Garuda ini juga akan mampu bertahan ketika nanti ganti presiden dan/atau ganti menteri? Dikhawatirkan dana sudah terlanjur banyak keluar, ketika nanti datang presiden atau menteri baru, sekolah ini dibubarkan? Lalu siapa yang akan bertanggung jawab?
Dengan beberapa alasan-alasan di atas, pemerintah perlu
rasanya memikirkan ulang untuk membangun Sekolah Unggulan Garuda. Pemerintah
seharusnya dapat memprioritaskan program strategis pendidikan yang lebih
prioritas misalnya pelatihan guru secara berkala dan berkesinambungan. Membangun
sarana dan prasarana sekolah-sekolah di pedesaan. Menurunkan disparitas
pendidikan di tanah air. Jangan lupa, pemerintah perlu juga membuat program
penyertaan orang tua dalam pendidikan anak. Karena pemerintah selama ini
terkesan lupa dengan titah pendiri pendidikan Ki Hajar Dewantara tentang
tripusat pendidikan. Pendidikan tidak dapat diserahkan sepenuhnya pada sekolah,
namun perlu juga melibatakan dua unsur lainnya yaitu orang tua dan masyarakat.
Selama ini orang tua dan masyarakat hanya dilibatkan dalam iuran pendidikan,
namun tidak dalam program-program pendidikan di dalam dan luar sekolah.
Terakhir,
pemerintah perlu memikirkan bagaimana sistem akreditasi sekolah. Jangan sampai peserta
didik sudah tiga tahun sekolah namun ternyata Sekolah Unggulan Garuda karena baru
didirikan, belum mampu meraih akreditasi A atau unggul. Tentu akan menjadi
paradoks apabila namanya adalah sekolah unggulan, namun secara akreditasi tidak
unggul.
Dion Ginanto, Ph.D*
*Pengamat Pendidikan dan Dosen di UIN STS Jambi
Comments