Skip to main content

Kurikulum Merdeka, Merdeka dari Kriteria Ketuntasan Minimal

 


Kurikulum Merdeka dan Platform Merdeka Mengajar baru saja diluncurkan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Dalam paparannya, Mas Menteri Nadiem Makarim menyebut Kurikulum Merdeka menjadi salah satu alternatif untuk mengatasi krisis belajar akibat ketertinggalan pembelajaran (learning loss) dan kesenjangan pembelajaran (learning gap) yang diperparah dengan adanya pandemi Covid-19.

Dalam praktiknya, satuan pendidikan tidak harus menerapkan Kurikulum Merdeka secara langsung. Namun dapat memilih satu dari tiga alternatif kurikulum: Kurikulum 2013 secara utuh, Kurikulum Darurat, dan Kurikulum Merdeka.

Pemilihan kurikulum ini disesuaikan dengan karakteristik siswa, kekhasan, serta kesiapan tingkat satuan pendidikan. Yang menjadi pembeda dari Kurikulum Merdeka dengan  kurikulum sebelumnya adalah kriteria ketuntasan minimal (KKM) tidak lagi digunakan.

Tiga Alasan KKM Tidak Relevan

Selama ini KKM menjadi momok para guru di tingkat satuan pendidikan. Mereka dengan setengah hati memberikan angka, yang sebenarnya ia sendiri tidak begitu memahami dari mana angka batas minimum tersebut didapatkan.

Karena ketercapaian pembelajaran adalah domain guru yang bersangkutan, maka ketuntasan peserta didik haruslah dikembalikan kepada guru, karena guru yang lebih mengetahui siswa dan karakteristik pendukung pembelajaran. Guru harus diberikan keleluasaan untuk mengukur tingkat ketercapaian pembelajaran berdasarkan tujuan pembelajarannya.

KKM dapat didefinisikan sebagai ukuran seorang siswa yang telah menguasai kompetensi secara tuntas. Jika KKM adalah batas lulus, maka seharusnya KKM ditentukan oleh guru dan satuan pendidikan bukan mengacu pada KKM pada level nasional misalnya 75. Dengan demikian, KKM sudah saatnya ditinggalkan dengan beberapa alasan.

1. KKM Melahirkan Angka Bukan Sebenarnya

Sebagai seorang guru yang telah mengajar sejak 2009, saya merasakan betul bahwa fenomena seperti ini benar-benar terjadi. Bahkan saya sering mencuri dengar dari obrolan para siswa terkait program remedial yang sering dijadikan formalitas mengkatrol nilai KKM.

Saya yakin, sesama guru yang membaca tulisan ini juga mempunyai kesan yang mirip terhadap KKM. Remedial dan KKM secara tidak langsung mempengaruhi semangat siswa. Siswa tidak mempunyai etos kerja tinggi karena toh nanti jika nilai mereka rendah, akan dijamin minimal sebatas KKM setelah mengikuti remedial.

KKM semu ini juga dilatar balakangi, karena kekhawatiran jika terlalu banyak siswa yang tidak memperoleh nilai sesuai KKM, maka sekolah akan mendapat akreditasi rendah ke depannya.  

2. KKM Menggerogoti Idealisme

“Ya sudah, apa boleh buat, kita naikkan saja jadi 75.” Begitulah kalimat-kalimat yang sering bermunculan ketika rapat kenaikan kelas. Sejatinya guru sudah memberikan nilai sesuai dengan hasil yang dicapai oleh siswa tertentu.

Tetapi pada rapat kenaikan kelas, atas pertimbangan tertentu maka angka rendah tersebut disepakati untuk dikatrol. Untuk diketahui, jika ada empat mata pelajaran yang tidak tuntas atau di bawah nilai KKM, maka siswa tersebut tidak dapat naik kelas.

Memang dilematis urusan KKM ini. Pada beberapa kasus, sekolah memaksakan diri untuk mematok nilai KKM yang tinggi untuk gengsi dan prestise. Padahal dari segi resources, intake, infrastruktur, dan guru belum begitu mendukung. Alasan utama tentu untuk nama baik sekolah, dan untuk membantu nilai agar mencukupi penghitungan kelulusan di akhir jenjang pendidikan.

3. KKM Menciptakan Kebanggan Semu

Siswa, orang tua, dan guru terkesan bangga dengan angka-angka raport siswa tinggi. Sangat berbeda pada era pendidikan dahulu, di mana nilai raport lebih bervariasi karena ada warna merahnya. Namun sekarang, sangat jarang dijumpai nilai rapor yang berangka 50, bahkan 60 sekalipun.

Nilai KKM yang terkesan dipaksakan oleh tingkat satuan pendidikan tentu berpengaruh buruk bagi proses belajar mengajar. Guru tidak memperoleh kemerdekaan mengajar karena harus mengejar target KKM dengan berbagai cara.

Siswapun merasa terbebani, karena belajar tidak mendapatkan dukungan untuk penguasaan kompetensi yang menjadi hak mereka. Terkadang siswa juga tidak memahami apa manfaat yang mereka pelajari. Mereka mengejar konten, bukan mengejar kompetensi.

Memang betul di satu sisi, orang tua dan siswa menjadi bangga dengan nilai-nilai pada raport mereka. Namun di sisi lain, angka-angka yang mereka dapatkan hanyalah semu, karena tidak merepresentasikan penguasaan konten yang mereka pelajari.

Lalu Bagaimana?

Dari beberapa alasan di atas, maka sudah saatnya kita mengatakan sayonara untuk KKM. Jika selama ini satuan pendidikan cenderung lebih mengutamakan assessment of learning (asesmen yang dilakukan pada akhir semester) melalui ujian akhir atau ujian tengah semester. Ke depan assessment as learning (penilaian sesaat setelah pelajaran selesai) dan assessment for learning (asesmen dalam bentuk penilaian ulang, perbaikan nilai, atau remedial) harus juga menjadi prioritas utama.

Penilaian formatif dan sumatif bentuknya bisa lebih fleksibel misalnya bisa dalam bentuk pameran, poster, esai, refleksi, atau kreasi lain disesuaikan dengan keunikan satuan pendidikan. Guru pun dapat melakukan penilaian dalam bentuk narasi atau kategori (misalnya berkembang, layak, cakap, mahir, dll).

Sehingga guru menjadi benar-benar tahu, apakah tujuan pembelajaran dari setiap materi sudah tercapai atau belum. Guru bukan lagi menitikberaktan pada nilai namun, lebih diarahkan untuk menitikberaktan pada proses.

Tantangan berikutnya adalah, bagaimana memberikan penguatan kemampuan guru sehingga dapat mengubah paradigma dari mengajar berbasis angka, menuju mengajar berbasis proses.

Selamat datang Kurikulum Merdeka dan selamat tinggal KKM. Mari kita menyongsong pendidikan yang lebih baik. Mari kita sukseskan semangat Merdeka Belajar dan Merdeka Mengajar.

 

Oleh Dion Ginanto, Ph.D

Dosen UIN Sulthan Thaha Saifuddin, Jambi

 

Comments

Popular posts from this blog

Sampling

This slides provide you:  1. the definition of sampling  2. sampling frame 3. determining the size of your sample  4. sampling procedure (Probability and non-probability)  Please follow/download the link for the Power Point Slides

The Legend of Jambi Kingdom (Narrative Text)

   Image: https://www.gambarrumah.pro/2012/10/400-gambar-kartun-rumah-adat-jambi.html Once upon a time, there were five villages, Tujuh Koto, Sembilan Koto, Petajin, Muaro Sebo, and Batin Duo Belas. The villagers of those five villages lived peacefully. They helped each other. Soon, the number of villagers grew highly. The villagers thought that they needed a leader to guide them. They wanted to have a king. So, the leaders from the five villages had a meeting. They wanted to set the criteria who could be their king. "Our king should be physically strong," said the leader from Tujuh Koto. "I agree. The king should be able to protect us from the enemies, "said one leader. "Not only that. He should also be well respected by us. So, the king should be strong and have good manners," said the leader from Petajin. "Then, let’s set the criteria. I have a suggestion. The king should be strong from fire. He cannot feel the pain if we burn him," said leade...

The Legend of Jambi (Narrative Text)

                                                    Gambar: http://www.ceritadongenganak.com   Once upon a time, there lived in Sumatra Island a very beautiful girl, Putri Pinang Masak. The girl was also a very kind-hearted person. This made everyone liked her so much. Many youth and princes from other countries desire her to be his wife. Nevertheless, she refused their proposals because she had not wanted to get married yet. One day, there was a very wealthy king, the king of the east kingdom, coming to her village. He proposed to marry her. Putri Pinang Masak was afraid to refuse the king’s proposal although she actually did not love the king, the ugly-faced man, at all. She knew that the king would be very angry and there would ...