Saat sedang mengajar mahasiswa yang juga adalah guru SD, saya iseng bertanya kepada mereka. “Mohon maaf Bapak dan Ibu, kalau boleh tahu gaji Bapak dan Ibu berapa ya?” Lalu salah satu mereka menjawab. “Beda-beda Pak, kalau saya guru honor daerah, ada juga di sini yang honor dari dana Bos, ada juga di sini yang guru honor di sekolah swasta.” Dari 29 mahasiwa yang saya ajar belum ada yang berstatus PNS, dan 95% dari mereka adalah guru SD yang menyandang status guru swasta. Barangkali tujuan mereka untuk berkuliah adalah untuk mendapatkan gelar S1 lalu dapat dijadikan sebagai modal untuk menjadi PNS.
Untuk guru yang mengajar di sekolah swasta milik perusahaan setempat, gaji mereka sudah tergolong lumayan. Namun kemudian, salah satu mahasiwi dengan malu-malu menghidupkan microphone Ms Teams, dan berkata “Gaji saya empat ratus ribu pak, dari dana BOS, itupun kami menerima gajinya setiap tiga bulan sekali.” Lantas saya bertanya lagi, “tapi Bapak Ibu yang bergaji dari dana Bos tidak harus hadir ke sekolah setiap hari kan? Bapak Ibu bisa sambil mengerjakan pekerjaan lainnya bukan?”
“Tidak pak…” kali ini banyak yang menghidupkan microphone, dan menjawab hampir serempak.
Lalu salah satu dari mereka menjelaskan, “tugas kami sama Pak dengan guru-guru yang PNS. Beban kerjanya juga sama. Yang mebedakan hanya nominal gaji Pak.”
Saya pun tertegun, mendegar penjelasan dari guru tersebut. Ini adalah bentuk diskriminasi yang benar-benar nyata. Ketika mereka diwajibkan untuk memberikan semua, namun tidak diperlakukan sama. Guru honorer diwajibkan untuk berada di sekolah setiap hari, dengan bekal Rp. 13.000 sehari.
Sebagai perbandingan, Ketua PB PGRI mengungkapkan bahwa saat ini, guru PNS yang bersertifikasi dapat mengantungi rata-rata 7-10 juta rupiah perbulan. Gaji golongan tiga gaji pokoknya dalah 3 jutaan, ditambah sertifikasi satu kali besar gaji. Belum lagi mereka akan mendapat tunjangan daerah.
Bandingkan, 7 juta berbanding Rp. 400,000? Guru PNS sertifkasi bergaji 17 kali lipat lebih tinggi. Itu jika asumsinya adalah golongan tiga, jika golongan empat, maka guru PNS bersertifikasi bergaji 20 kali lebih besar dibanding guru honorer.
Adilkah? Adilkah dengan perbandingan yang mencolok tersebut? Guru honorer dituntut menjalankan beban yang sama? Bahkan karena guru honorer ini lebih menguasai teknologi, banyak kemudian beban-beban tugas yang seharusnya dilakukan oleh guru PNS, dialihkan dan dibebankan kepada guru honorer. Beberapa oknum guru PNS lantas karena sudah berada di zona nyaman bekerja santai, kerena beberapa beban teknis dikerjakan oleh guru honorer. Sungguh ini bentuk segregrasi guru yang nyata ada di depan kita.
Jika buruh yang bergaji sesui UMR saja setiap tahun turun ke jalan untuk menuntut kenaikan gaji, lalu bagiamana nasib 1.6 juta guru honorer yang bergaji jauh dari gaji buruh. Bukan ingin membandingkan, namun lebih ingin menyamakan agar tidak ada lagi pekerja di negeri ini yang bergaji jauh di bawah UMR provinsi. Bukan pula ingin merendahkan buruh, tetapi seharusnya tidak boleh ada sesama pekerja yang mempunyai gap gaji yang tinggi.
Dede Yusuf, anggota komisi X DPR RI pun pernah mebandingkan antara guru honorer dan buruh. Beliau menyampaikan guru honorer ini berpendidikan tinggi, namun gajinya tak lebih tinggi dari buruh, yang tak semuanya lulus perguruan tinggi. Bahkan Dede Yusuf pernah mendengar bahwa lebih sejahtera menjadi buruh, ketimbang menjadi guru.
Apakah perlu guru honorer melakukan November Day, sebagaimana May Day yang dilakukan para buruh? Bukankah selama ini sering ada tuntutan guru tentang kejelasan K2? Tuntutan guru honorer untuk diprioritaskan diangkat menjadi PNS, bukan malah membuka keran rekrutment PNS untuk yang baru lulus kuliah? Tentu guru honorer yang sudah bertahun-tahun mengajar dan tidak terlalu update dengan perkemabangan teknologi dan informasi akan kalah saing jika harus berkompetisi dengan para fresh graduate yang selalu ter-update.
Lalu adilkah guru-guru honorer di sekolah negeri yang sudah bertahun-tahun harus bersaing dengan guru swasta untuk sekedar mendapatkan prediket guru PPPK? Adilkah guru honorer yang ingin menjadi guru PPPK namun ternyata di satuan kerjanya tidak membuka pendaftaran PPPK? Adilkah guru honorer yang sudah bertahun-tahun mengabdi harus diuji, diuji dan diuji dengan materi ujian yang tidak begitu substansi? Adilkah mereka yang sudah bertahun-tahun mengabdi, ditest dengan teknologi tinggi yang mereka tidak begitu kuasai?
Jika begitu kondisinya, jangan salahakan nanti jika guru-guru yang ikhlas mengabdi meninggalkan profesniya untuk menjadi buruh atau petani. Jangan sampai nanti kita kelabakan mencari pengganti, jika kemudian mereka tak mau lagi mengabdi, tak mau lagi mengajar sepenuh hati. Haruskah buruh menjadi guru dan guru menjadi buruh?
Sebelum terlambat, mari kita lebih perhatikan nasib guru honorer dengan sepenuh hati. Angkat saja dengan skema PPPK atau PNS, tanpa perlu menghadapi berbagai ujian yang tak berkesudahan. Bukankah bertahun-tahun mengabdi sudah cukup membuktikan mereka mempunyai kompetensi tinggi?
*Pengamat Pendidikan
Dosen UIN STS Jambi
Comments