Skip to main content

Tradisi Lisan Dul Muluk dan Dzikir Burdah di Muaro Jambi

                                     Datuk Sambawi AB dan Kang Dedek

Matahari tampak mengintip di atas Gentala Arasy, ketika kami menjemput dua peneliti dari Litbang Kemenag yang akan melakukan penelitian di Jambi. Peneliti yang berjumlah sepuluh orang, mempunyai lima topik penelitian yang berbeda. Pagi ini, kami akan mengambil tema Dul Muluk, kesenian tradisi lisan Jambi yang masih bertahan hingga kini di Muaro Jambi. Kang Dedek dan Kang Aris, telah bersiap di depan lobi ketika saya dan Bang Abid tiba di depan Hotel Wiltop di tepian sungai Batanghari.

Tepat pukul 10 pagi, kendaraan plat merah membawa kami menelusuri pinggiran sungai terpanjang di Sumatera, dan kemudian melewati jembatan panjang hingga akhirnya mengantarkan kami pada gerbang pertama menuju Candi Muaro Jambi. Di sana, kami akan menemuai Ahok, atau bang Ardi Havis yang telah bersiap membawa kami pada maestro Dul Muluk.

Namun, mobil harus berhenti karena ada dua petugas dinas Pariwisata yang memberhentikan kami.

“Candi tutup bang, dak biso masuk. Kami mohon maaf nian.”

Tampak bang Abid mencoba bernegosiasi, namun keliahatan belum keluar kata sepakat. Kang Dedek dan Kang Aris dengan sigap keluar mobil, dengan membawa surat tugas penelitian serta bukti test bebas Covid-19. Namun, surat itu kelihatan belum begitu meyakinkan petugas.

“Telfon bae Ahok bang, biak sayo nganing Ahok becakap. Kalu memang benar iyo kato Ahok, Abang sekalian boleh masuk.”

Saya dan bang Abid pun mencoba menelfon Ahok, namun tidak diangkat. Giliran saya, alhamdulillah diangkat. Setelah berbasa-basi sedikit, telfon saya serahkan pada petugas jaga.

“ko bang ado tamu, ngato dari Jakarta.” Penjaga terdiam sejenak, mendengarkan arahan dari Ahok.

“iyolah-iyolah, jadi parkir di depan candi yo bang. Ok.ok.ok.”

Singkat, tak perlu waktu lama. Petugas langsung melunak dan mempersilahkan kami untuk masuk di komplek percandian.

“Kagek nunggu di parkiran yo, bang Ahok kagek adolah di sano.”

Kami berterimakasih pada petugas jaga. Tidak sampai tiga menit mobil Xenia plat merah kami telah berada di komplek percandian. Bang Ahok, sempat berpapasan dengan kami, ternyata ia membeli bensin dari penjual bahan bakar eceran tepat di bawah gerbang masuk percandian.

“Selamat datang, selamat datang” sambut Ahok dengan sangat ramah. Kamipun satu persatu melakukan tos dengan tangan mengepal sebagai isyarat keramah-tamahan yang penuh kehati-hatian. Kami semua memperkenalkan diri, kecuali bang Abid, karena sudah lama kenal dengan Bang Ahok.

“Payo ngikut sayo, kita ke rumah Datuk.”

Bang Ahok, dengan sepeda motor metik keluaran sekitar tahun 2019an dengan piawai menjadai penujuk arah Datuk Sambawi AB, si Maestro Dul Muluk. Sepanjang jalan mengitari perumahan warga, Kang Dedek dan Kang Aris tak henti-hentinya berdecak kagum dengan arsitek perumahan gaya melayu yang tak pernah mereka jumpai di Jakarta. Saya yang juga terpana sesekali memperbesar AC mobil, karena matahari mulai menujukkan tajinya.

Tak berselang lama, motor Ahok berhenti pada sebuah rumah besar. Rumah panggung khas Jambi, dengan tiang kayu bulian yang mungkin sudah berumur puluhan tahun. Rumahnya cukup unik karena mempunyai dua muka, yang satu menghadap pemukiman warga, yang satu menghadap pada kedai kopi, yang di beri nama “Pojok Kopi Dusun.”

Saya yang selama ini sering melihat foto Pojok Kopi Dusun di facebook dan Instagram, terpesona karena akhirnya dapat tiba dan berswafoto sendiri. 


 Datuk telah menunggu kami di salah satu Saung tingkat di Pojok Kopi Dusun. Kedai kopi dengan arsitek tradisional terlihat sederhana namun penuh makna. Seluruh peralatan untuk membuat kopi semua dari alat tradisional. Tungku pemanas air, ceret air, bahkan hingga cangkir seng ala orang tua kita di desa jaman dulu lengkap di sana. Lampu petromak, dan lampu khas nelayan Batanghari pun tergantung di atas meja peramu saji. Tampak di samping kanan, rumah panggung unik yang dihiasi topeng dari buah labu yang sudah mengering, yang ternyata adalah sebuah musola. Sementara tampak pula di saung tak jauh dari kami duduk, ada pula empat gadis yang sedang mengobrol, ditemani dengan minuman dingin, sambail berfoto ke sana kemari. Ternyata, Kopi Dusun tak hanya menyuguhi kopi saja, namun juga minuman kekinian untuk Generasi Milenial dan Gen-Z.

Pembicaraan dibuka dengan perkenalan Kang Dedek yang asli Garut; dengan tangkas pula Datuk memanggil menantunya yang juga keturunan Sunda yang tinggal di Singkut. Mungkin karena adanya ikatan Sunda, pembicaraan mengalir dengan alami, mulai dari kopi, Covid-19, pariwisata, hingga perbandingan lelucon Jambi versus Sunda.

Dzikir Burdah

Kang Dedek lalu memulai diskusi tentang Dzikir Burdah. Untuk memudahkan, Datuk mengambil alat musik Rebana Besar (Rebana Siyam) dan Buku Al-Barjanji yang digunakan untuk penampilan Dzikir Burdah. Sambil sesekali menabuh gendang, Datuk menjelaskan tentang sejarah tradisi melayu yang sudah mulai tak digemari.

“Dzikir Bardah ko biaso kita tampil di acara pesta pernikahan, pesta sunat, pesta cukuran, atu kalau ado ke sawah.”

Datuk lalu memainkan salah satu baik Dzikir Bardah dengan membaca kitab Al-Barjanji di atas meja.

Dzikir Burdah untuk hiburan, cerita sejarah nabi, dan megusir balak. 

“Sebab, Dzikir Bardah ko banyak manfaatnyo, selain hiburan dan cerito sejarah nabi, Burdah ko dizakini dapat mengusir balak.”

Ketika ditanya oleh Kang Dadang tentang anggota atau pemain Dzikir Bardah, raut muka Datuk berubah menjadi terlihat sedih.

“Itulah… genarasi pemain yang tuo-tuo tinggal duo. Yang satu lah sudah meninggal pulak. Tinggallah Datuk seorang kini ko.”

Lalu ketika ditanya, apakah mungkin Dzikir Bardah dimasukkan dalam muatan lokal di sekolah.

“Iyo, itu penting. Malah kini ko di SD sudah ado diajarkan seni topeng dari Muaro Jambi ko. Tuh topengnyo ado di dinding. Terbuat dari Labu.”

Kami pun lalu melihat-lihat topeng yang berbentuk unik, terbuat dari Labu yang sudah dikeringkan.

Dul Muluk

Diskusipun sekarang beralih pada Dul Muluk. Kesenian daerah yang masih exist di kabupaten Muaro Jambi.

“Dul Muluk, kami kan pertama kami Baladun. Jadi kami kan pakai Lung Sari, untuk ganti pakaian di dalam. Jadi tempat mainnyo di luar. Lalu Dalang yang mengatur. Yang keluar saat ini kamu, sekarang kamu. Lalu kalu semua dipanggil semua, galo galo keluar. Itu untuk nak nampil. Kami memanggil yang dari Lung Sari karno untuk Baladun.”

Lalu Datuk menyanyikan syair Baladun:

 Banyaklah nyunin Ladun, tapi karo la Ladun. Ladun nanyo kami Ladun Jambi Muarolah Muaro Jambi.”

Dul Muluk untuk menghigur

Lalu Datuk menjelaskan, bahwa lagu itu membuat orang senang. Jadi bisa menghibur. Disitulah nilai ibadahnya. Ketika kita bisa membuat orang senang, kita juga akan mendapat pahala.

“Sebelum menyanyi, kami makan gambir, agar supaya suara biso melengking.”

Singkatnya, Dul Muluk adalah semacam teater tradisional yang bertujuan menghibur dan memberi nasehat untuk semua generasi.

Dul Muluk untuk Nasihat

“Kalau Dul Muluk, isinya banyak berisi nasihat. Nasihat untuk semua kalangan, dan biso ditampilkan di saat pesta perkawinan, sunatan, ado jugo pas acara kematian.”

Kemudian Datuk menjelaskan sejarang Dul Muluk.

Rajo Hamisah (Raho Hamid Syah), jadi Hamisah ini Bapak Abdul Muluk. Rajo Hamisah ini menyerahkan kerajaan ke Abdul Muluk nyawo diok lah nak ilang. Jadi, sebelum meninggal Rajo Hamisah memberikan kekeuassan pada Abdul Muluk. Di situlah nanti keluar syair sedih.

Datukpun bersenandung, benasib:

Udahlah yang lah di nasib, udah di nasib untung lah malang…

Padi lah di tanam, padi ditanam, tumbuh lah Lalang…

Ikan lah dipanggang, ikan lah panggang, sambar lah elang.

“Di situ habis nyawonyo. Jadi disitu lah ilang nyawanyo, padi ditanam tumbuh ilalang, ikan dipanggang disambar elang.”

Lalu, Ahok menimpali, “Jadi di UNJA ado mata kulaih ini. Mengajarkan seni Dul Muluk.”

Setelah bercerita sejarah, Datuk menceritakan silsilah generasi pelaku seni Dul Muluk: Generasi pertamo Sabun (Sa’ban), generasi ke-dua Sudin, generasi ke-tiga Husin, generasi ke-empat Datuk Sambawi dan Abdullah Anang. Lah dak ado lagi orangnyo, tinggal Datuk Sambawi ko lah yang masih hidup.

Tak lama berselang, muncullah anak muda dengan rambut panjang, bertopi kabaret, dan berbaju serba merah menaiki sepeda motor Honda tua. Lelaki itulah yang bernama Borju, yang saat ini menjadi dosen di Universitas Jambi mengajar salah satu mata kuliah topik Kesenian Daerah Dul Muluk. Borju kemudian banyak bercerita upayanya dalam meningkatkan kecintaan generasi muda pada Tradisi Lisan Dul Muluk. Oleh karenanya Meskpun kuliah secara online, Broju menugaskan mahasiswanya untuk belajar langsugn dengan Datuk Sambawi. Juga ia memberikan tugas bahwa mahasiswa harus merekam video dengan menyanyikan syair Baladun Dul Muluk yang diiringi musik aransemen dari Borju. 

                        Datuk Sambawi AB, Bang Borju, Bang Abid, dan Kang Dedek

Kamipun sepakat bahwa Tradisi Lisan baik Dul Muluk maupun Dzikir Burdah harus dilestarikan dan diturunkan pada generasi milenial dan Generasi Z. Perjumpaan kamipun harus diakhiri sembari menyeruput Kopi Dusun yang nikamatnya minta ampun. Tarian pohon Karet yang telah berubah fungsi, serta kicauan burung yang terdengar samar-samar mengirigi perpisahan kami pada Datuk Sambawi, Bang Ahok, dan bang Borju.

 

Comments

Popular posts from this blog

Sampling

This slides provide you:  1. the definition of sampling  2. sampling frame 3. determining the size of your sample  4. sampling procedure (Probability and non-probability)  Please follow/download the link for the Power Point Slides

The Legend of Jambi Kingdom (Narrative Text)

   Image: https://www.gambarrumah.pro/2012/10/400-gambar-kartun-rumah-adat-jambi.html Once upon a time, there were five villages, Tujuh Koto, Sembilan Koto, Petajin, Muaro Sebo, and Batin Duo Belas. The villagers of those five villages lived peacefully. They helped each other. Soon, the number of villagers grew highly. The villagers thought that they needed a leader to guide them. They wanted to have a king. So, the leaders from the five villages had a meeting. They wanted to set the criteria who could be their king. "Our king should be physically strong," said the leader from Tujuh Koto. "I agree. The king should be able to protect us from the enemies, "said one leader. "Not only that. He should also be well respected by us. So, the king should be strong and have good manners," said the leader from Petajin. "Then, let’s set the criteria. I have a suggestion. The king should be strong from fire. He cannot feel the pain if we burn him," said leade...

The Legend of Jambi (Narrative Text)

                                                    Gambar: http://www.ceritadongenganak.com   Once upon a time, there lived in Sumatra Island a very beautiful girl, Putri Pinang Masak. The girl was also a very kind-hearted person. This made everyone liked her so much. Many youth and princes from other countries desire her to be his wife. Nevertheless, she refused their proposals because she had not wanted to get married yet. One day, there was a very wealthy king, the king of the east kingdom, coming to her village. He proposed to marry her. Putri Pinang Masak was afraid to refuse the king’s proposal although she actually did not love the king, the ugly-faced man, at all. She knew that the king would be very angry and there would ...